Dampak Buruk Pariwisata Massal di Bali, Ada Biaya Sosio Kultural yang Harus Dibayar
bbn/dok beritabali/Dampak Buruk Pariwisata Massal di Bali, Ada Biaya Sosio Kultural yang Harus Dibayar.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Antropolog Leo Howe mengungkap dampak buruk pariwisata bagi warga lokal Bali yang berlangsung sejak lama.
Dalam bukunya The Changing World of Bali: Religion, Society and Tourism (2005) mengatakan citra Bali sebagai “surga eksotis” (exotic paradise) diciptakan sejak masa penjajahan Belanda.
Citra tersebut, didukung promosi dalam bentuk foto dan lukisan, mengundang banyak seniman negara barat untuk berkunjung dan tinggal di Bali sejak 1914. Mereka lantas melanjutkan pembentukan citra itu, dengan merekam kehidupan sosial, kesenian, dan keagamaan warga Bali melalui karya seni.
“Para seniman ini menjalani kehidupan bohemian yang mewah (di Bali), di tengah kemiskinan parah yang dirasakan sebagian besar orang Bali biasa,” tulis Howe.
Kondisi yang kontras dalam pernyataan Howe itu tampaknya masih relevan dengan pariwisata Bali hari ini. Pasalnya, pemerintah yang terus berorientasi pada kuantitas kunjungan turis asing menyebabkan pariwisata massal atau mass tourism.
Pariwisata massal tentu mendatangkan keuntungan ekonomi. Semakin banyak wisatawan datang, kian banyak pula uang yang diterima Indonesia, setidaknya dari tarif akomodasi turis. Namun, mengutip Howe, ada biaya sosio-kultural yang juga harus dibayarkan di balik keuntungan tersebut.
Hasil penelitian Ka Leong Chong (2020) dalam artikel “The side effects of mass tourism: the voices of Bali islanders” di jurnal Asia Pacific Journal of Tourism Research menunjukkan masyarakat lokal merasa terganggu dengan tingkah laku turis asing yang tidak sopan. Misalnya, buang air kecil di dekat pura.
Para responden juga khawatir dengan memudarnya tradisi dan praktik budaya lokal di Bali, terutama di desa-desa sekitar tempat wisata. Menurut Ka Leong Chong, hal ini disebabkan gaya hidup turis asing sudah diterima oleh masyarakat setempat hingga menjadi praktik yang lebih umum.
Sementara, Howe berpendapat perubahan budaya di Bali bisa terjadi karena menyesuaikan kebutuhan dan harapan wisatawan yang datang ketimbang warga lokal, untuk mendukung pariwisata itu sendiri. Pariwisata massal pun memperparah kemacetan dan polusi di Bali.
Para responden mengatakan, upaya pemerintah provinsi menambah infrastruktur jalan dan manajemen sampah belum sebanding dengan kenaikan jumlah turis asing yang datang ke Pulau Dewata. Dengan segala dampak buruk itu, bahkan setelah ada jeda selama pandemi, pemerintah tetap kukuh dengan pendekatan pariwisatanya.
Cakupan visa on arrival yang diperluas setiap bulan membuktikan pemerintah hanya mementingkan kunjungan turis asing dan keuntungan ekonomi. Evaluasi yang komprehensif mengenai dampak kebijakan itu bagi warga lokal di Bali diabaikan. Usulan pencabutan fasilitas VoA pun muncul setelah tingkah laku buruk wisatawan asing viral di media sosial.
Jadi, apakah visa on arrival dan kuantitas kunjungan turis asing adalah jawaban untuk kebangkitan dan keberlanjutan pariwisata di Bali? Atau haruskah fasilitas itu dicabut?
“Jika budaya Bali yang tertata dengan baik ingin dipertahankan sebagai daya tarik utama pulau itu bagi wisatawan, maka para wisatawan itulah yang menjadi ancaman terbesarnya,” tulis Howe. (sumber: katadata)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net