Jejak Hubungan Tionghoa-Bali di Desa Pinggan Kintamani
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BANGLI.
Seminar Jejak Hubungan Tionghoa-Bali di Desa Pinggan, Kintamani, Bangli, digelar di Politehnik International Bali, Jalan Pantai Nyanyi, Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, awal Desember 2019 lalu.
Baca juga:
Perayaan Imlek di Bali Disebut Galungan Cina
Seminar ini bertema “Melalui Kajian Etnografi Balingkang Memperkokoh Hubungan Tionghoa - Bali, Menuju Harmoni Budaya dan Religi”.
Tujuan seminar antara lain membangun kesadaran kolektif orang Bali terhadap hubungan Tionghoa–Bali adalah hubungan sejarah, kultural, ekonomi, dan politik.
Narasumber, dan Moderator Seminar ini menghadirkan peserta kurang lebih 100 orang yang terdiri dari berbagai profesi/ lembaga : Praktisi, Arkeolog, Sejarahwan, Budayawan, Toga-Tomas, MUDP, PHDI, Listibya, Museum Bali dll, serta lintas generasi : siswa dan mahasiswa. Dalam seminar ini juga menghadirkan narasumber yang sangat mumpuni dibidangnya.
Ketua pelaksana seminar, Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M. Si. Wakil Ketua, dalam makalah seminar ini mengatakan, catatan Kong Yuanzhi (1999:9) menyebutkan hubungan asal-usul Bangsa Tionghoa dapat dilihat melalui dua jalur Persebaran Orang Melayu Prasejarah. Orang Melayu prasejarah menyebar ke selatan dari daratan Asia dengan dua jalur, pertama bertolak dari sekitar Yunnan menuju ke Siam, Semenanjung Indochina, Semenanjung Melayu, kemudian menyebrangi Selat Malaka sampai di Sumatra dan beberapa pulau lainnya; kedua bertolak dari sekitar Fujian (Hokkian) dan Guangdong (Kuangtung), daratan Tiongkok Tenggara menuju Taiwan dan kepulauan Filipina, sampai di Kalimantan, Jawa, dan pulau-pulau lainnya.
Jika dilihat dalam perspektif antropologi, asal-usul Tionghoa di Indonesia dapat dilihat dari ras manusia Nusantara. Di Indonesia terdapat empat macam ras, yaitu (A) Negrito keturunannya antara lain Tapiro di Irian Jaya, (B) Wedda, keturunannya antara lain Suku Badui di dataran tinggi Bandung, Suku Toala d Sulawesi barat daya, Suku Kubu di Sumatra Selatan dan sebagainya, (C) Melayu Tua, keturunnnya antara lain Suku Batak di Sumatra dan Suku Dayak di Kalimantan, (D) Melayu Muda, keturunannya antara lain suku-suku seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, Ternate, dan suku-suku berbahasa Minangkabau.
Bagian A dan B tergolong ras Negroid, sedangkan bagian C dan D tergolong ras Mongoloid yang berturut-turut menyebar ke Nusantara dari ras mongoloid banyak berasal dari daerah sekitar Yunnan (Yuanzhi,1999:4).
Berdasarkan catatan ras Mongoloid sebagaimana dijelaskan Yuanzhi (1999) di atas, maka jejak ras Mongoloid dapat ditemui pada orang-orang di Bali khususnya di daerah pegunungan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di samping ras Mongoloid ini menjadi ciri khas kulit dan mata agak sipit orang di Kintamani, ternyata keturunan orang-orang Tionghoa (baca: Cina) telah menyatu dengan penduduk lokal.
Secara pasti keberadaan Tionghoa di Kintamani belum diketahui, namun dari penuturan lisan rupanya dihubungkan dengan kejayaan karajaan Bali Kuna yang bernama Sri Aji Maharaja Jayapangus yang diperkirakan bertahta di Dalem Balingkang.
Sri Aji Maharaja Jayapangus memperistri Putri Tionghoa, sehingga untuk memperingati jasa Putri Tionghoa tersebut didirikan sebuah pelinggih di Pura terbesar di Bangli, yaitu Pura Dalem Balingkang, Batur, Pura Puseh Lampu Catur dan beberapa pura yang lainnya.
Komunitas Tionghoa di Kintamani tidak hanya dapat dilihat pada Bangunan suci di Pura Batur, namun orang-orang Tionghoa di Kintamani telah banyak yang berbaur dengan penduduk lokal dalam berbagai aktivitas sosial, budaya, dan teologis atau religius. Aktivitas mereka tidak hanya dalam bidang ekonomi sebagaimana di gambarkan di atas, namun telah ikut menjadi petani biasa, seperti kehidupan orang Tionghoa di Desa Catur Kintamani sehingga penduduk setempat sering menyebut Tionghoa Bali.
Keberadaan Tionghoa pada Masyarakat Kintamani memiliki kesatuan masyarakat tersendiri, bahkan berdasarkan penuturan orang Kintamani, beberapa daerah di Kintamani berasal dari bahasa Tionghoa, seperti Pinggan (baca: Ping An). Songan (baca: Song An) dan sebagainya.
Berdasarkan paparan di atas, sungguh suatu hal yang sangat menarik adalah hubungan sosial antara komunitas Tionghoa dengan Desa Pakraman tampak harmonis, tanpa gejolak konflik, dan tidak eksklusif.
Dalam pandangan masyarakat ekonomi sesungguhnya Tionghoa selalu identik dengan masyarakat perkotaan atau sekitar lingkungan metropolitan, sangat jarang komunitas Tionghoa yang berorientasi pada daerah pegunungan seperti Kintamani ini. Kemudian dari segi kebudayaan nampaknya banyak hal telah terjadi asimilasi atau pembauran. Di samping itu, pada tataran teologis (aspek ketuhanan) dalam aktivitas religiusnya juga Pelinggih adalah sebua bangunan suci Hindu di Bali yang berfungsi untuk menstanakan Tuhan dalam manifestasi tertentu dan sekaligus sebagai tempat pemujaan.
Palinggih bagi keturunan Tionghoa atau keturunan Cina di Pura Batur bernama Pelinggih Ratu Subandar yang terdapat di areal Utama Mandala dari struktur pura Batur. Baik dari segi arsitektur maupun fungsinya memiliki ciri khas Cina. Bahkan beberapa perlengkapannya khusus di datangkan dari Cina. Cina Bali adalah julukan masyarakat Keturunan yang telah lahir di Bali umumnya dan telah berbaur aktivitasnya dengan penduduk lokal , berbahasa Bali, dan tidak menutup kemungkinan dalam kepercayaan juga telah berbaur.
Sangat menarik dari keberadaan dua komunitas itu. Untuk itu catatan etnografi rupanya akan dapat memberi gambaran tentang hubungan Tionghoa dan penduduk lokal di Kintamani khususnya Balingkang. Berdasarkan berbagai keunikan dan fenomana yang terjadi pada etnis Tionghoa di Kintamani khususnya di Balingkang tersebut, maka sesungguhnya secara akademis wilayah topik ini layak untuk diangkat dalam berbagai pendekatan sehingga mendapat sebuah gambaran tentang Balingkang mungkin berupa sebuah catatan etnografi yang lengkap.
Tujuan dan Sasaran Kegiatan Seminar Sebagaimana paparan latar belakang di atas, maka tujuan dan sasaran seminar ini antara lain membangun kesadaran kolektif orang Bali terhadap hubungan Tionghoa – Bali adalah hubungan sejarah, kultural, ekonomi, dan politik. Melakukan gerakan harmonisasi antara warga Tionghoa dan Bali agar tidak memiliki sentiment politik identitas antara keduanya.
Mengembangkan hubungan diplomatik antara Bali dan Tionghoa dalam bidang sejarah kebudayaan dan religi, karena kedua ini telah memiliki akar sejarah yang panjang di Bali, maka perlu ada kajian etnografi yang lengkap tentang Balingkang terkait sejarah, budaya dan religi itu sendiri. Dan terakhir memberikan gambaran komprehensif tentang mitos-mitos hubungan Tionghoa dan Bali terkait dengan Raja Sri Maharaja Jayapangus dan Kang Cing Wey. Kesimpangsiuran data sejarah, purana, babad, dan mitos-mitos yang berkembang dapat menimbulkan salah persepsi di kedua belah pihak.
Editor: Juniar
Reporter: bbn/tim