search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Tertawa Keluar Air Mata, Ini Manfaatnya Bagi Kesehatan Mental
Senin, 21 Maret 2022, 16:55 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/suara.com/Tertawa Keluar Air Mata, Ini Manfaatnya Bagi Kesehatan Mental

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Saat melihat atau mendengar sesuatu hal yang sangat lucu, tertawa biasanya menjadi respon yang refleks dilakukan. Bahkan, sebagian orang mungkin bisa tertawa hingga keluar air mata.

Bukan berarti menangis, tertawa hingga keluar air mata sebenarnya hal yang wajar. Bahkan, secara psikologi disebutkan kalau tertawa hingga mengeluarkan air mata bermanfaat bagi kesehatan mental.

"Ada manfaat menangis dan tertawa. Jadi, ketika melakukannya bersama-sama, kita mendapatkan manfaat dari keduanya. Tetapi biasanya tanpa kesedihan yang dapat menyebabkan menangis," kata pakar psikologi perilaku dan ilmuwan utama di The Uncertainty Experts Katherine Templar Lewis, kepada Metro.

Ia menjelaskan bahwa saat menangis, tubuh akan mengeluarkan hormon endorfin yang dapat mengurangi rasa sakit. Sehingga tubuh terasa jadi agak membaik juga bantu mengatur dan memproses emosi.

Sedangkan manfaat tertawa bisa menurunkan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Tertawa juga akan memicu pelepasan endorfin kimiawi yang sama.

"Penurunan hormon stres ini bisa sangat bermanfaat bagi sistem kekebalan tubuh kita dan bahkan jantung. Menangis dan tertawa menghilangkan stres, jadi melakukan keduanya bersama-sama mendapat manfaat ganda," kata Katherine.

Tetapi, menurut Katherine, kebanyakan orang akan makin jarang tertawa hingga mengeluarkan air mata seiring bertambahnya usia mereka. Jumlah tertawa ketika masih anak-anak dan setelah dewasa sangat jauh berbeda.

"Anak-anak tertawa sekitar 400 kali sehari. Sebagai orang dewasa, kita hanya tertawa hingga 20 kali sehari," ujarnya.

Kondisi itu disebabkan karena faktor norma, harapan sosial, serta budaya yang harus disalahkan. Katherine menyampaikan, pandangan masyarakat mengenai emosi yang tidak terkendali, seperti tertawa, tidak pantas ditunjukkan atau berarti menampilkan semacam kelemahan emosional.

"Bisa juga karena kita takut orang mungkin mengira kita menertawakan mereka jika tidak terlibat dalam lelucon, atau memahami apa yang Anda anggap lucu," kata Katherine.

Alasan-alasan itu ditambah dengan tekanan umum karena bertambahnya usia, memiliki tanggung jawab, dan harus menjaga diri sendiri mendorong kebanyakan orang memiliki lebih sedikit kesempatan untuk tertawa.(sumber: suara.com)

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami