Opini

Indonesia Emas 2045, Nyata atau Wacana?

 Minggu, 26 Juli 2020, 08:20 WITA

bbn/net

IKUTI BERITABALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Beritabali.com, Denpasar. 

Bangsa Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu bangsa terbesar di masa depan jika pengembangan kualitas SDM Indonesia benar-benar serius digarap.

Salah satu prediksi tersebut disampaikan oleh McKinsey Global Institute pada bulan September 2012, bahwa Indonesia akan menjadi negara nomor tujuh terbesar secara ekonomi di dunia pada tahun 2030. Harapan tersebut juga tertuang dalam program nasional yang bertajuk “Generasi Emas Indonesia 2045” oleh pemerintah. 

Program ini disusun untuk mempersiapkan bangsa dalam menghadapi bonus demografi yang akan diterima Indonesia di 100 tahun kemerdekaannya.

Namun, mungkinkah Indonesia Emas 2045 diwujudkan melihat situasi pandemi yang kini dirasakan Indonesia? Memulihkan kondisi Indonesia saat ini bukanlah hal yang mudah, melihat peningkatan kasus positif Covid-19 yang masih terus meningkat dan sangat melumpuhkan ekonomi. 

Maka, salah satu tugas terberat Indonesia kini adalah menstabilkan kondisi ekonomi agar Indonesia Emas 2045 bisa benar-benar diwujudkan. 

Untuk menjadikan Indonesia negara besar pada tahun 2045, dibutuhkan beberapa persyaratan tertentu, meliputi sumber daya manusia, infrastruktur, dan kekuatan ekonomi yang memadai. Di antara persyaratan tersebut, pengembangan sumber daya manusia menjadi hal yang cukup penting. Hal tersebut karena diperkirakan jumlah penduduk produktif akan jauh lebih besar daripada penduduk non-produktif pada tahun 2045. 

Mereka yang tidak kompeten dalam akademik dan keahlian akan sulit mendapat pekerjaan dan digantikan oleh tenaga kerja asing atau robot, bahkan hanya menjadi beban di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah kini lebih fokus terhadap pembangunan kualitas manusia Indonesia untuk menghadapi tantangan ke depan.

Persiapan Generasi Emas 2045

Generasi muda yang berkualitas ialah generasi yang memiliki integritas yang baik, karakter sebagai bangsa Indonesia, dan kompetensi di bidang-bidang yang kontekstual dengan ekonomi nasional. Generasi muda yang berkualitas mampu beradaptasi terhadap perubahan dan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada.

Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018 yang bertema keberagaman untuk meningkatkan daya saing menempatkan Indonesia di peringkat 77 dari 119 negara di dunia. Pencapaian tersebut tentu jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia di peringkat 27 dan Filipina di posisi 54. 

Laporan tersebut memotret seberapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Padahal, pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, baik dalam bidang sains, teknologi, maupun ekonomi. 

Generasi ke depan harus dibekali dengan pendidikan karakter yang berbasis intelektualitas, emosional, dan spiritual. Dengan begitu, kecerdasan yang dimiliki akan mampu dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi.

Pendidikan yang baik akan menciptakan generasi yang lebih kreatif dan paham tantangan global sehingga dapat meningkatkan ekonomi. Dimulai dari UMKM sampai industri dan pembangunan infrastruktur yang lebih besar. Dengan usaha yang keras dari segala pihak, generasi muda yang mampu bersaing dalam berbagai hal pasti tercipta.

Program Pemerintah

Mewujudkan Indonesia Emas 2045 bukanlah hal yang mudah, mengingat masih banyaknya kekurangan negara kita dalam memenuhi persyaratan menjadi negara maju. Diperlukan kerja ekstra dan kebijakan-kebijakan yang revolusioner, bukan hanya kerja yang sifatnya rutinitas. 

Maka dari itu, Joko Widodo sebagai Presiden RI telah menyampaikan tekadnya untuk fokus pada pembangunan kualitas SDM, infrastruktur, dan pembangunan industri di periode kedua kepemimpinannya. 

Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan Indonesia ditunjukkan dengan memfasilitasi sistem pendidikan yang baik dan setinggi-tingginya untuk mencetak banyak cendekiawan. Namun, data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2019 menunjukkan sebanyak 4.586.332 anak yang mengalami putus sekolah di 34 provinsi di Indonesia. 

Data tersebut menunjukkan keberhasilan program bagi seluruh anak Indonesia wajib mengenyam pendidikan formal selama 12 tahun masih jauh dari harapan. Banyaknya kasus putus sekolah karena faktor ekonomi membuat pemerintah mengambil upaya untuk memberikan beasiswa pendidikan. 

Berbagai inovasi pun diluncurkan, mulai dari sistem penerimaan peserta didik baru hingga sistem pembelajaran yang lebih diarahkan menuju digitalisasi. Namun, hal yang paling krusial sebenarnya adalah pemerataan infrastruktur pendidikan di tiap daerah. 

Berdasarkan Borneo News, salah satu pemerataan infrastruktur yang kini dirasakan yaitu perbaikan bangunan yang hampir roboh dan rusak. Selain itu, pemerintah juga berencana akan bersinergi dengan pihak perusahan besar swasta (PBS), agar bisa menyalurkan CSR mereka untuk membangun rumah dinas guru dan juga sekolah.

Sejak tahun 1974, pemerintah telah berusaha serius untuk meratakan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama di daerah terpencil yang dihuni sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Namun nyatanya, kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata “merata” hingga kini. Sarana prasarana pendidikan di kota-kota besar sudah sangat maju, berbanding terbalik dengan kondisi di desa-desa yang hanya seadanya bahkan jauh dari standar. 

Maka, sudah semestinya pemerintah lebih gencar dalam meningkatkan daya tampung sekolah dan meratakan kualitas sekolah di seluruh wilayah Indonesia. Sebab sebagus apapun sistem yang diterapkan, tidak akan bermanfaat maksimal jika masih ada yang tidak dapat mengecap kualitas yang sama.

Infrastruktur adalah pondasi yang sangat penting sekali untuk dikembangkan saat ini. Bukan hanya untuk kepentingan pendidikan, pembangunan infrastruktur diyakini bisa meningkatkan daya saing produk Indonesia. Saat ini, pemerintah terus membangun pelabuhan, bandar udara, jalan tol, waduk, dan berbagai infrastruktur lainnya. 

Dengan begitu, diharapkan biaya logistik serta transportasi akan lebih murah dan menciptakan konektivitas yang tinggi antar daerah. Hal tersebut juga pasti berpengaruh positif pada pembangunan industri yang diyakini memberikan nilai tambah bagi produk dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. 

Generasi Kini

Persiapan yang dilakukan pemerintah sudah begitu paripurna untuk menyukseskaan harapan bangsa ini. Namun, tantangan pasti selalu ada. Salah satunya adalah adanya pandemi Covid-19 yang meresahkan dunia, terutama di Indonesia yang angka pasien positifnya tidak pernah berhenti meningkat. 

Bukan hanya menghancurkan persiapan yang direncanakan pemerintah, pandemi ini juga meruntuhkan keadaan ekonomi Indonesia. Sebagian besar masyarakat saat ini serba sulit dan dihadapkan hanya pada dua pilihan, antara terpapar penyakit atau mati kelaparan.

Di balik mendungnya situasi masa pandemi ini, ada secercah cahaya yang bisa dirasakan generasi muda. Tuntutan untuk bekerja dan belajar di rumah membuat generasi muda memiliki kesempatan lebih banyak untuk menerapkan teknologi. Hal tersebut menyebabkan penggunaan teknologi digital di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. 

Generasi yang dikenal gaptek (gagap teknologi) akan dituntut belajar dan menyesuaikan dengan situasi yang kini dirasakan. Organisasi We Are Social mengatakan bahwa lebih dari 160 juta orang Indonesia menggunakan media sosial dan lebih dari 150 juta orang Indonesia menggunakan intenet setiap harinya. Data ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sudah memasuki arus teknologi 4.0 dan dirasa siap memanfaatkan teknologi secara maksimal.

Namun di balik keunggulannya, teknologi juga memberikan beberapa hal negatif, yaitu kuatnya arus globalisasi yang menyerang generasi muda saat ini. Banyak orang yang tidak bijak dalam penggunaan teknologi, terutama internet. Alih-alih dapat membuka peluang kemajuan, internet malah berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa. 

Generasi muda masa kini sangat akrab dengan perkembangan teknologi internet, sehingga karakternya sangat bergantung dari apa yang diserap dari internet. Internet bisa menjadi senjata utama bagi seseorang dalam mengembangkan bakatnya ataupun menjerumuskannya pada hal negatif. 

Pada tahun 2019, Kominfo menerima 500 ribu lebih aduan konten negatif internet dari berbagai platform, menyangkut pornografi, perjudian, hingga provokasi SARA. Konten-konten negatif seperti itu akan membuat generasi muda berperilaku buruk dan antisosial. Mereka akan lebih senang berselancar di internet dan terjebak di dunianya sendiri daripada berkomunikasi secara langsung.

Selain itu, internet juga menyebabkan kecanduan dan menurunkan semangat belajar yang bermuara pada menurunnya intelektual dan minimnya prestasi yang diraih.

Dampak terkejam dari internet yang dapat dipikirkan adalah cyberbullying, intimidasi dan perundungan lewat dunia maya. Perundungan semacam ini sangat berpengaruh pada psikologi, bahkan membuat korbannya menjadi gila dan bunuh diri. Bukan hanya itu, internet juga dapat menurunkan kreativitas, mengabaikan lingkungan sekitar, membuang-buang waktu, insomnia, bahkan mengancam kesehatan jika digunakan dengan tidak baik dan berlebihan. 

Jika ini terus terjadi, generasi muda akan menjadi generasi yang lemah dan tidak dapat menjawab tantangan global. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang diharapkan. Jadi, masih bisakah kita menggantungkan impian bangsa ini di tangan generasi muda?

Akankah generasi muda mampu memenuhi harapan bangsa menjadi generasi emas tahun 2045? Jawabannya adalah tidak, jika generasi muda tidak mampu memanfaatkan internet dengan bijak. Segala daya upaya pemerintah tidak akan ada artinya tanpa dukungan semua pihak, terutama generasi muda sebagai penerima estafet kekuasaan kelak. Apalagi situasi pandemi yang kini kita alami sangat menampar kita dari segala aspek. 

Semestinya generasi muda pandai dalam melihat peluang dan memanfaatkan teknologi dengan bijak. Kita sebagai generasi muda diharapkan menjadi lebih produktif dan kreatif selama pandemi ini, bukannya tambah konsumtif dan menambah tanggungan. Perlu disadari bahwa perkembangan teknologi bisa menjadi batu loncatan untuk kemajuan bangsa, atau malah semakin memperlebar jurang ketertinggalan dengan bangsa lain.

Generasi emas yang diharapkan bangsa ini tidak hanya dapat menggunakan hal yang ada, namun juga bisa menciptakan hal yang bermanfaat untuk bangsa ini. 

Penulis

Ni Putu Maryati Saputri
[Students at Sampoerna University]

Penulis : bbn/opn



Berita Beritabali.com di WhatsApp Anda
Ikuti kami




Tonton Juga :





Hasil Polling Calon Walikota Denpasar 2024

Polling Dimulai per 1 September 2022


Trending