search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Batal ke Bali, Obama Berbeda dengan SBY
Sabtu, 5 Oktober 2013, 16:20 WITA Follow
image

beritabali.com/ilustrasi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Beritabali.com, Jakarta. Presiden AS Barack Obama dipastikan batal datang ke Bali menghadiri KTT APEC yang digelar 1-8 Oktober 2013. Kepastian itu diumumkan Menlu RI Marty Natalegawa di Bali dan Staf Khusus Hubungan Internasional Presiden SBY, Teuku Fauzasyah di Jakarta.

Adanya dua pengumuman yang sama dan dilakukan secara terpisah oleh dua pejabat tinggi Indonesia, mengindikasikan, pembatalan kehadiran Obama di KTT APEC merupakan sebuah peristiwa penting, untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah "pukulan" bagi tuan rumah Indonesia.

Pembatalan itu terjadi hanya selang dua hari setelah Washington memastikan Obama tetap hadir di KTT APEC. Sehingga secara etika dan profesional, pembatalan di menit-menit terakhir menunjukkan ketidak-profesionalan Gedung Putih termasuk tidak beretikanya negara adidaya itu.

Pembatalan kehadiran Obama, setidaknya mengharuskan tuan rumah melakukan perubahan dan penyesuaian. Sekalipun hanya dari segi protokoler, sebab Obama akan digantikan Menlu John Kerry, tetapi penyesuaian ini cukup merepotkan, menyita waktu dan tentu saja melelahkan.

Merepotkan, sebab bukan hal yang aneh kalau setiap kali seorang Presiden AS berkunjung ke sebuah negara baik untuk kunjungan berstatus bilateral ataupun berskala multilateral, pihak tuan rumah selalu direpotkan tuntutan persyaratan tim keamanan dari Gedung Putih. Tuntutan itu terkadang dirasakan berlebihan, bahkan bisa disebut melecehkan kedaulatan bangsa.

Pembatalan seperti ini oleh Obama ke Indonesia, bukan baru kali ini terjadi. Di 2009, kurang dari setahun setelah terpilih sebagai presiden, Gedung Putih juga merancang perjalanan ke Indonesia. Tapi jadwal itu akhirnya mengalami perubahan sampai dua kali. Perubahan juga dilakukan di menit-menit terakhir. Alasannya juga sama: Presiden Obama sedang menghadapi persoalan yang serius di dalam negeri.

Walaupun pembatalan itu cukup mengganggu persiapan Indonesia, tetapi sebagai tuan rumah KTT APEC, Indonesia tidak membuat pernyataan yang mencerminkan adanya rasa penyesalan. Respons Indonesia, terkesan sangat memahami alasan Obama.

Padahal semestinya tidak begitu. Bayangkan "demi seorang tamu dari Washington", jutaan rakyat Indonesia harus berkorban atau dikorbankan. Indonesia harus mengikuti semua permintaan dan persyaratan tim keamanan Presiden AS. Secara resiprokal, Indonesia tidak pernah memberlakukan hal serupa kepada AS.

Semenjak SBY menjadi Presiden, tidak sekali dua kali Presiden RI berkunjung ke AS. Tapi tak sekalipun Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menuntut berbagai persyaratan yang harus dipenuhi bagian keamanan AS, menjelang kedatangan Presiden RI.

Jumlah penerbangan ke dan dari Bali dikurangi dan pasti merugikan ataupun menganggu aktifitas bisnis maupun roda pemerintahan. Hal serupa belum pernah terdengar dilakukan oleh otoritas AS sekalipun setiap tahun di Markas Besar PB, New York lebih dari 100 Kepala Negara hadir di kota megapolitan tersebut.

Jalan tol Bali, yang baru saja diresmikan dan keunikannya hendak dipertontonkan kepada semua delegasi ke KTT APEC, perlu ditutup untuk umum selama Obama berada di Bali.

Kegiatan hobi masyarakat dan wisatawan berupa permainan layang-layang di seputar Nusa Dua, lokasi yang menjadi tempat penyelenggaraan KTT APEC, juga dilarang. Sekalipun secara logika, larangan itu tidak masuk akal, tetapi permintaan itu tetap dituruti otoritas keamanan Indonesia.

Pendek kata, rencana kehadiran Obama di Bali, membuat sejumlah hal normal, menjadi "ribet" ataupun "abnormal". Pegelaran KTT APEC yang seharusnya menjadi ajang promosi bagi Indonesia, justru terbalik. Semua keunikan, kelebihan yang perlu dilihat delegasi asing, ditutup dan ditutupi dengan berbagai alasan.

Namun yang lebih penting lagi dari pembatalan ini adalah perlunya Indonesia lebih khusus Presiden SBY adalah dalam soal sikap. Pembatalan seperti ini harus disikapi. Pembatalan mendadak Obama perlu dijadikan sebuah pembelajaran dan introspeksi. Jangan hanya jarena Obama pernah menghabiskan 4 tahun masa kecilnya di Indonesia, lalu Presiden AS sudah kita tempatkan sebagai "negarawan Indonesia".

Pembatalan ini memperlihatkan, bagi Obama, dia tidak peduli dengan kerepotan yang ditimbulkannya. Yang teramat penting dan diutamakannya, penyelesaian yang dihadapi bangsanya, Amerika Serikat. Bahasa pasarnya "elu elu, gue-gue".

Bangsa Amerika Serikat khususnya ribuan pegawai negeri federal, tidak bisa menerima gaji akibat anggaran yang diajukan pemerintah pusat (federal) di stop. Hal ini terjadi akibat pertarungan politik antara Demokrat sebagai partai pemerintah dan Republik sebagai oposisi. Republik tidak menyetujui usulan Demokrat.

Dengan tidak menerima gaji, otomatis para pegawai negeri harus tinggal di rumah. Mereka tidak wajib bekerja. Karena tidak ada yang bekerja, maka terjadilah apa yang disebut "shutdown".

Terlihat sangat jelas, sekalipun yang terkena dampak penolakan persetujuan anggaran itu, hanya menimpa puluhan ribu pegawai pemerintah pusat, tetapi jumlah itu bagi Presiden Obama sudah cukup signifikan. Yang dirasakan Obama, dampak itu menyentuh seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Sehingga yang menjadi taruhan adalah kepentingan nasional.

Mengapa lagi-lagi Presiden SBY yang diingatkan untuk menjadikan pembatalan Obama ini sebagai pembelajaran atau referensi. Sebab istilah ‘pembatalan’ jadwal ke luar negeri, jarang dikenal Presiden ke-6 RI ini.

Selain bagi Presiden SBY, bangsa Indonesia juga demikian. Perlu mengubah paradigma tentang Amerika Serikat. Bangsa Indonesia sudah harus sadar bahwa terlalu "mendewakan" Amerika Serikat sebagai sebuah negara adidaya, sehingga harus diistimewakan, merupakan sebuah kekeliruan.

Memberi respektasi yang berlebihan kepada bangsa Amerika Serikat termasuk Presidennya, perlu diakhiri. Menempatkan Amerika Serikat sebagai sahabat sejati, patut dihentikan.

Setiap intelektual Indonesia yang pernah menikmati fasilitas beasiswa yang diberikan lembaga pendidikan AS, tidak harus mengubah karakter menjadi individualis dan "Americanized". Siapa saja boleh menjadi pintar setelah belajar di AS. Tapi tidak harus menjadi "agen" AS di Indonesia.

Sementara bagi Presiden SBY yang senang melakukan perjalanan ke berbagai negara tirulah cara Obama. Obama adalah salah satu contoh Presiden yang pro kepada rakyat. Dia menang sebagai orang Demokrat. Tapi dia peduli dengan semua rakyat tak peduli mereka dari partai lain atau bahkan tidak memilihnya.

Bagi Obama, kepentingan nasional, kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat adalah di atas segala-galanya. Obama tidak pernah mengeluh gajinya kurang tetapi ia lebih mendengar keluhan rakyatnya. Rakyat miskin AS tidak semiskin rakyat miskin di Indonesia.

Dengan sisa waktu sekitar 12 bulan lagi, Presiden SBY masih bisa melakukan penyesuaian, memulihkan kepercayaan rakyat dan bangsa Indonesia. [bbn/inilah.com]

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami