Fenomena Haters, Cerminan Kepribadian Negatif, Butuh Konseling
Selasa, 1 Agustus 2017,
08:12 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. "Mau saya unfriend gak enak karena dia sekantor sama saya, tapi kalau dibiarkan, status dan comment-commentnya selalu begitu, berisi kebencian. Orang lain kayak nggak ada benernya,” kata Andita, mengeluhkan status di akun media sosial teman sekantornya.
“Iya ya, saya perhatikan status FB-nya dia itu kok begitu terus ya. Orang lain yang bermasalah atau dia yang bermasalah,” timpal Deni, teman Andita.
“Saya bikin akun FB karena ingin bersilaturrahmi dengan keluarga, teman sekolah yang sudah berjauhan atau teman kantor. Tapi kalau wall “dikotori” dengan status seperti itu lama-lama nggak nyaman juga,” tukas Andita lagi.
Percakapan antara Andita dan Deni, mungkin pernah atau sering kita dengar di lingkungan kerja atau lingkungan keluarga kita sendiri. Hater adalah istilah netizen yang disematkan bagi orang yang selalu menumpahkan kebencian kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga tertentu melalui status di media sosial.
Lalu bagaimana pendapat psikolog tentang hater?
Maryana, Mpsi, menyatakan, dalam buku besar psikologi DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)-5, hater belum masuk kategori penyakit psikologi.
“Secara penelitian belum dilihat bagaimana dikehidupan aslinya, tapi biasanya orang yang seperti itu orang suka mengeluh,” ucap Ana, sapaan akrabnya.
Fenomena ini tidak hanya mengganggu iklim di kantornya Andita saja. Dalam cakupan yang lebih luas hater juga telah mengusik negara sehingga muncul isu presiden akan menerbitkan lagi pasal penghinaan kepada kepala negara. Dimana warga negara yang menghina simbol negara akan dikenai sanksi berat seperti di zaman Orde Baru.
Menurut Ana, fenomena ini lebih banyak terjadi di Indonesia jika dibandingkan di luar negeri. Dia menilai, ini lebih pada cara seseorang memanfaatkan media sosial.
“Itu pilihan kita, apakah kita akan bijak atau tidak. Semua terpulang kepada diri sendiri,” tuturnya.
Karena bisa jadi, lanjutnya, orang yang suka membuat status berisi kebencian, keluh kesah, dan ekspresi negatif lainnya belum tentu di kehidupan nyata eksis seperti di dunia maya.
“Kalau di dunia maya kan tidak bertatap muka jadi lebih bebas mengekspresikan diri, tapi kalau berhadap-hadapapan tidak begitu, masih punya norma atau nilai. Malu atau segan misalnya.
“Atau mungkin dia gak bisa mengeluh kepada orang sekitarnya, sehingga menumpahkannya kemedsos,” imbuhnya.
Masalah hubungan sosial seperti ini tak bisa dihindari karena kemampuan sosial setiap orang berbeda-beda.
“Apalagi dari kecil sudah pegang gadget,” Ana menjelaskan.
Permasalahan hubungan sosial juga tidak memandang apakah latar pendidikannya rendah atau tinggi. “Tingkat pendidikan berperan juga, tapi yang pendidikannya tinggi statusnya banyak juga yang aneh-aneh,” kata Ana lantas tertawa.
Bagaimana menghadapi orang yang seperti itu?
“Gak usah ditanggapi karena kalau ditanggapi bisa makin menjadi-jadi, atau unfriend aja,” jawabnya. Ana berkesimpulan fenomena ini masalah persepsi (sudut pandang), sedangkan persepsi tidak ada yang salah. Ana mencontohkan dua orang yang memandang benda berbentuk kotak dari sudut pandang yang berbeda, yang satu melihat kotak itu berbentuk kotak, namun yang satunya berbentuk segi tiga. “Jika diributin gak akan selesai, baiknya melihat riilnya,” sarannya.
Meski begitu, Ana menyatakan bahwa orang yang selalu punya cara pandang yang selalu negatif tidak sehat. Karena akan jadi tekanan buat dirinya sendiri.
“Orang seperti itu butuh konseling.”
Bagaimana jika langsung dinasehati?
“Dinasehati akan sia-sia karena itu masalah persepsi. Saya kira bijak menggunakan internet dan bertanggung jawab akan bisa mengatasi hal seperti itu,” katanya.
“Di Barat masyarakatnya bebas tapi bertanggungjawab. Tapi yang saya lihat di Indonesia masih banyak yang belum memahami itu, sehingga banyak terjadi di sini,” imbuhnya.
Apakah sikap para hater dipengaruhi oleh pengalaman yang kurang baik, misalnya waktu kecil sering di-bully, minderan, atau pernah disakiti? Ana menuturkan setiap manusia perlu survive, bukan dari segi makanan saja tapi secara psikologis juga.
“Setiap orang punya mekanisme pertahanan diri. Salah satunya dengan pengalihan, contohnya ketika putus cinta, dia akan cari pacar baru,” tuturnya.
Rasionalisasi juga menjadi cara mekanisme pertahanan diri. Misalnya orang akan menampakkan bahwa dia pintar, unggul, kuat, sempurna padahal kenyataannya tidak begitu.
“Menulis status atau mengomentari status temannya terkesan selalu menggurui, itu termasuk rasionalisasi. Termasuk orang yang banyak alasan bisa jadi waktu kecil sering di-bully teman-temannya,” papar Ana.
Ana menyarankan memperbanyak interaksi sosial dalam arti bergaul di dunia nyata menjalin silaturrahmi secara positif, agar mata jangan hanya berkutat didepan layar komputer, gadget, dan televisi saja.
“Internet kan banyak positifnya, maka pergunakanlah itu,” pungkasnya.[bbn/rst/psk/berbagai sumber]
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: -