search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
I Wayan Djiwa, Begawan Legong dari Binoh
Minggu, 16 September 2018, 08:00 WITA Follow
image

Beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Kehidupan I Wayan Djiwa tidak bisa dipisahkan dari khasanah gambelan palegongan di Bali. Masyarakat, khususnya kalangan pecinta karawitan Bali menyebut suami Ni Made Rampigi ini sebagal begawan gamelan palegongan dari Binoh Laki-laki kelahiran Banjar Binoh Kaja, Denpasar, tahun 1906 ini juga salah seorang seniman karawitan terbaik yang dimiliki Bali. 
 
[pilihan-redaksi]
Predikat 'begawan' karawitan Bali diperolehnya tentu karena Djiwa telah membentengi dirinya dengan perjalanan berkesenian yang amat panjang. Sejak usia delapan tahun Djiwa, yang akrab dipanggil Pan Berata, sudah mulai belajar menabuh gender. Sebelumnya, ia telah terbiasa melihat dan mendengarkan saat orang menabuh gender di rumahnya. 
 
Djiwa kecil sering klangen (terpesona) menyaksikan orang menabuh. Sekali-kali tangannya terkepak-kepak ketika sedang mendengar gending pagenderan yang ditabuh ayahnya, I Wayan Aken. Saking seringnya melihat gender, ia pun mencoba menabuh gender sekenanya, kendatipun tanpa izin ayahnya. Tangannya menari-nari di atas palawah gender, tanpa gentling (irama) pasti. 
 
Melihat perilakunya demikian tak segan-segan ayahnya mencoba mengajari Djiwa menabuh gender kendatipun tidak sungguh-sungguh alias cuma iseng-isengan. Dari pembelajaran yang iseng isengan itulah lambat laun makin kelihatan Djiwa bakal bisa menabuh dengan baik. Melihat potensi demikian, ayahnya pun makin rajin mengajari dia menabuh gender terutama saat istirahat siang dan di malam hari. 
 
Sebagai anak yang senang gending-gending gambelan, Djiwa bersyukur lahir dari 'habitat' seni keluarganya. Pada keluarga satu natah (halaman/pekarangan) rumahmya, tidak hanya ada ayahnya yang tokoh gambuh, tapi juga terdapat seperangkat gambelan gambuh, di antaranya gender dan kendang gambuh. Untuk ukuran zaman itu, gambelan milik keluarga Djiwa tersebut tergolong sudah layak untuk mengiringi tari gambuh. 
 
Begitulah, Djiwa memang lahir dari keluarga pengabdi seni. Terbukti, dengan kepiawaian ayahnya, I Wayan Aken, seorang tokoh tari gambuh ternama pada zamannya. Hingga mengakhiri masa anak-anak, Djiwa banyak memperoleh ilmu pagenderan gambuh dari ayahnya. Di antaranya tabuh pategak (instrumentalia) dan pengiring Legong Keraton di Binoh.
Djiwa pun menjadi seorang penabuh gender muda di banjarnya. Tidak mengherankan is berani mengiringi berbagai pementasan wayang baik di banjarnya maupun tempat lain. Dalang terkenal I Nyoman Geranyam, asal Sukawati, Gianyar, selalu menjadi langganan Djiwa, terutama ketika pentas di Binoh. 
 
Hebatnya, di balik kesibukannya, Djiwa juga dikenal sebagai undagi (arsitek traditional Bali) yang mumpuni. Profesi terpaksa ditekuni karena ia harus menghidupi diri sendiri sekaligus membantu beban orangtuanya. Maklum, penghasilan ayahnya sebagai petani kecil di desa sering tidak mencukupi hidup keluarga. Karenanya, ia sering rajin bekerja sebagai undagi sekaligus memetik ilmu undagi ayahnya, I Nyoman Aken, yang juga seniman ukir terkenal di Binoh.
 
Dengan dasar penguasaan tabuhan gender, memasuki tahun 1915 Djiwa mulai menekuni gambelan Legong Keraton yang kebetulan dirintis sejumlah tokoh Banjar Binoh. Kala itu Legong Keraton sangat disukai masyarakat karena selain berfungsi sebagai hiburan juga kepentingan upacara agama di Pura atau di pamerajan (tempat suci keluarga) warga banjar. Untuk mematangkan penguasaan Legong Keratonnya, sejumlah prajuru (fungsionaris) banjar sepakat melakukan pembinaan tari Legong Keraton, dengan mendatangkan guru tari dari Padangsambian, I Lantur, dibantu Cedet dari Binoh. Pembina Legong Keraton ini menjadi kesempatan bagi Djiwa untuk menguasai gambelan palegongan.
 
Pada sekaa (kelompok) palegongan yang masih tergolong darurat ini banyak memperoleh pakem serta gending tabuh palegongan dari gurunya termasuk dari Ida Bagus Boda, seniman tari dan karawitan dari Kaliungu, Selain dari Boda, ia juga banyak memperoleh ilmu tabuh Legong dari Wayan Lotring, seniman karawitan ternama asal Kuta. Dalam berbagai kesempatan, Lotring yang empu gamelan Legong ini menyarankan agar Djiwa terus berlatih. 
 
Saran ini diberikan tiada lain karena sangat kelihatan Djiwa, adalah salah seorang murid tabuh yang lebih menguasai pakem gambelan Legong dibandingkan dengan murid lainnya. Lotring pun bisa mengetahui secara jelas kepiawaiannya menabuh. Itu akibat Djiwa telah mendasar. penguasaannya menabuh dengan kemampuan memainkan gender yang di Bali memang dikenal paling sulit dikuasai.
 
Maka, dalam tempo relatif singkat ia bisa menguasai gending Legong Kraton klasik, seperti Lasem, Playon, Kuntir, Kuntul, Jobog, Goak Macok Ngalap, Base, Kupu Tarum, Telek, hingga Semarandana. Selanjutnya mcnguasai gending palegongan jenis Sekar Gendot, Liar Samas,Jagul,Tambur Angklung, Gambang, Kebyang, Kebyot, Sadagora, Kembang Jenar, hingga Candra Kama serta tabuh bebarongan. Berkat Djiwa juga pada tahun 1928 di Binoli secara resmi berdiri Sekaa Legong Keraton serius -sebelumnya hanya berupa sekaa 'darurat'. 
 
Seiring dengan gerak latihan sekaa yang makin mantap, Djia pun makin punya kebebasan untuk berkreasi. Selain di balai banjar, acapkali ia minta kepada ayahnya agar diajari megambel lebih mendalarn. Tidak jarang ia sering menerima petuah tentang hakikat menabuh gaembelan dari Sebagai anak yang punya akal dan budi, saran itupun tidak diartikan sekadar saran. Djiwa menyadari belajar menabuh dengan setengah hati kelak justru akan bisa menyiksa diri sendiri. Sebab, bagi Djiwa, dia akan sakit hati jika merasa dikalahkan menabuh oleh orang yang bersama-sama mulai belajar menabuh dengan dirinya sendiri. Di sisi lain, Djiwa menyadari apa yang telah ia perbuat tiada lain adalah kewajiban sebagai warga banjar yang dituntut mampu melestarikan tradisi seni budaya. 
 
Maka, jadilah Djiwa seorang pahlawan gambelan yang disegani di banjarnya. Maklum, berkat jasa seniman seperti Djiwa inilah nama Binoh makin berkibar dan dikenal dengan Legong Keratonnya, terutama di wilayah Badung. Nama Djiwa pun makin berkibar. Bersamaan dengan itu muncul pula penari-penari berbakat binaan banjar, antara lain Ni Sempok dan Ni Mibara. Mereka saling bahu-membahu mengharunikan nama Banjar Binoh sebagai `Dena Legong Keraton'. 
 
Kendatipun cuma seorang seniman desa, namun Djiwa cukup teguh dan tekun melakoni hidupnya sebagai seniman. Ia punya prinsip yang tangguh. Baginya, menabuh adalah bentuk kewajiban pelestarian seni budaya leluhur yang memang luhur. Lebih daripada sekadar sebagai tugas kebudayaan, Djiwa mengaku memang sangat merasakan telah menemukan kepuasan hidup yang lebih hakiki dalam menabuh. Ia merasa sangat puas ketika bisa menabuh, terutama menaati kaidah gambelan yang diberikan gurtinya.Lewat kesuntukan demikianlah ia jadi mampu mencerna makna tetabuhan yang didengarnya ataupun yang sedang dimainkannya.
 
"Kalau sudah magambel, hati saya jadi damai. Lupa dengan kesulitan hidup," akunya, tersenyum. 
 
Yang tidak kalah pentingnya adalah karena dengan bisa menabuh ia dapat bergaul, bahkan terpandang di mata masyarakat. "Banyak. Susah saya menceritakan apa bentuk kepuasaan lain yang saya rasakan saat menabuh," katanya. Di sisi lain dengan `pergaulan' yang seluas-luasnya iris ia memperoleh ilham menabuh. Baginya, ilham gegambelan bisa diperoleh proses akibat munculnya tantangan, terutama pada orang-orang yang minta tetabuhan untuk mengiringi pementasan tarian tertentu. Biasanya ilham ini muncul tatkala gending yang diminta belum pernah dipelajari. Dan ia pun akan terus berlatih hingga menemukan jenis gending yang sesuai permintaan. 
 
Selebihnya, ilham seninya bisa diraih ketika ia sedang tegalan atau di kamarnya yang hanya berdinding bedeg alias anyaman bambu. Ketika ilham itu muncul ia pun beranjak di depan alat gambelan yang ia inginkan. Kemudian satu per satu ia coba eksplorasi nada-nadanya sehingga, jadilah sebuah gambelan yang estetik, mempesona. 
 
Berkat keptawaiannya menabuh palegongan itulah dirinya lantas makin sibuk mendapat undangan menabuh, mengiringi sari Legong Keraton. Selain menabuh ia juga aktif membina sekaa ganibelan Legong di banjarnya dan di banjar-banjar lain. Dari rentang perjalanannya menabuh, ia malah berhasii menjadi seorang komposer karawitan dengan karya yang diberi nama Gedebeg dalam instrumen gender wayang. Karya ini inakin dikenal sekaa gong di wilayah Bandung sekaligus dijadikan patokan tetabuhan klasik. 
 
[pilihan-redaksi2]
Begitulah Djiwa, sosok orang desa yang tak kenal lelah. Sebagai warga yang taat dengan ajaran agama Hindu dan adat istiadat, ia pun rajin gowng royong ke balai banjar dais ngayah ke pura serta ngoopin (kerja bakti) warga di desanya. Karena sifat ringan tangan serta kepiawaiannya itulah maka Djiwa sering diperlakukan sebagai warga terhormat. Ketika ada piodalan di pura. is tidak hanya ngayah menabuh gender wayang dan palegongan, tapi juga serinti ngayah makakawin dan makidung, melagukan nyanyian-nyanyian carat moral clan spiritual. 
 
Begitulah, sekalipun Made Djiwa telah meninggal, Kamis, 24 April 1986 silam, namun ia tetap dikenang dan dihormati sebagai ‘begawan’ Legong Desa Binoh. Kini anaknya, Made Sumadi juga rajin menyelematkan gambelan Djiwa. Bahkan cucunya, Ketut juga mewarisi bakat la kini tekun merekonstruksi 'Ilmu' gambelen palegongan kakeknya di samping itu juga mematangkan diri belajar karawitan di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar. (bbn/rls/rob)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami