Putar Otak Demi Adaptasi di Tengah Pandemi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Hampir 3 bulan sudah masyarakat Indonesia berada dalam Pandemi Covid-19. Pada kenyataannya semua lapisan masyarakat ikut merasakan dampaknya. Mencari pundi-pundi rupiah saat ini seperti menghirup udara segar diantara asap pabrik. Masyarakat yang terdampak harus mampu putar otak demi bertahan hidup di tengah pandemi, akankah mereka mampu?
Tiada yang mengira, pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) muncul begitu tiba-tiba dan menghantam keberlangsungan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Ibarat jatuh tertimpa tangga, selain was-was perihal kesehatan diri, berbagai resolusi pun terpaksa terhenti. Siasat terus dilancarkan agar hidup bertahan, utamanya bagi pekerja informal. Pendapatan yang bergantung pada harian, mesti beradaptasi untuk mencari jalan keluar agar kantong tetap terisi.
Di sisi lain, kondisi pandemi Covid-19 juga menjadi pukulan keras bagi mereka yang baru saja ingin memulai jalan hidupnya. Itulah yang dirasakan seorang perempuan yang baru saja wisuda. Betapa membuncah pikiran Ayu Puspita Dewi tatkala ia bercerita tentang rencana masa depannya. Sembari menoleh ke bawah, Ayu menundukkan kepalanya.
“Pada saat wisuda rasanya kala itu seperti tidur di kasur paling empuk di dunia, semua beban tidak terasa begitu saja,” tuturnya mengenang euforia wisuda di dalam gedung besar yang berisi ribuan orang.
Terekam jelas dalam ingatan salah satu sarjana muda manajemen perguruan tinggi negeri di Bali itu, berbondong-bondong orang dari seluruh Indonesia datang melihat anak, teman, dan keluarganya wisuda kala itu. Mereka membawa bunga dan berbagai macam hadiah untuk ucapan pada sang wisudawan.
“Banyak yang memberi ucapan semacam selamat datang ke dunia sesungguhnya, tapi saat itu aku anggap santai saja saking senangnya punya gelar di belakang nama,” kenang Ayu.
Sayangnya, euforia itu cepat berlalu. Kini, lesunya perekonomian akibat pandemi Covid-19 ini, terutama banyaknya pekerja yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja-red) dan dirumahkan, menjadi tamparan keras bagi Ayu. Melihat kini banyak industri dan perusahaan yang memilih tutup sementara, semakin memperkecil peluang Ayu untuk mencapai pekerjaan setelah lulus.
“Jadi kan kemarin wisuda akhir Februari, target maksimun sebulan buat nyari pekerjaan, tetapi gara-gara Covid -19 jadi makin susah,” tuturnya kecewa.
Ayu dihadapkan pada dua pilihan: menjadi pengangguran atau tetap mencari lowongan pekerjaan. Ia memilih tetap mencari lowongan pekerjaan yang ia ingingkan kala itu.
“Aku tetap mencari kerja walaupun Covid seperti ini, sesuai keinginan awal, aku ingin sekali bekerja di ruang lingkup startup atau hospitality gitu,” tegas Ayu dengan wajah semangat.
Berbagai cara telah dilakukannya, seperti mencari informasi lowongan pekerjaan mulai bertanya kepada orang terdekat hingga mencari informasi secara daring.
“Jadi mau tidak mau harus rajin-rajin lihat loker (lowongan kerja), dari yang bertanya lewat chat sama kakak tingkat, teman, keluarga, dan berjam-jam buka laptop demi mendapatkan info lowongan kerja,” tambahnya.
“Bahkan ya, kaya aku dari bulan Maret sudah mulai apply, ada beberapa perusahaan yang meng-iya-kan buat interview via video call terus ada juga yang perekrutan dipegang dulu, jadi harus bisa bersabar banget nunggunya,” lanjutnya seraya mengelus dada.
Nasib sama dihadapi oleh Nanda Yulianita. Nanda yang merupakan seorang penyiar salah satu radio swasta di Bali ini pun merasakan dampak yang signifikan selama pandemi. Nanda yang sudah sekitar dua tahun menjadi penyiar radio itu harus menerima ketika waktu siarannya dikurangi sejak bulan Mei ini.
“Semenjak Corona ini, jam siaran tiap penyiar mulai di bagi, jadi yang biasanya seminggu 7 kali cuma 2 kali aja,” tuturnya dengan mata yang sayu.
Secara tidak langsung ini mempengaruhi jumlah pemasukannya yang mulai ikut menurun pada bulan Mei, sedangkan disisi lain Nanda punya beberapa cicilan yang harus dibayar tiap bulannya.
“Ya sebenarnya jam siaran berkurang karena jumlah pengiklan di radio tempat kerja juga mulai sepi, makanya jam siaran ikut berkurang dan mau tidak mau gaji bulan ini harus ikut berkurang juga. Ditambah sekarang punya cicilan tiap bulan yang memang dibayar dari gaji siaran, ya kalo dihitung gaji bersih jadi sedikit,” ungkapnya sambil menghela nafas.
Mulai Menemukan Peluang Saat Terhimpit
Saban hari, sembari menunggu kepastian nasib lamarannya, Ayu hanya terus berdoa, berharap jika pandemi ini segera berakhir, ia akan segera memperoleh pekerjaan dengan gaji tetap setiap bulannya. Bosan dengan mengisi waktu luangnya mencari lamaran, Ayu pun mulai mengisi kejenuhannya dengan melakukan kegiatan produktif.
“Ya, kalau di rumah bantu ibu masak setiap hari, selain itu aku juga suka main alat musik seperti keyboard, jadinya sekalian refreshing agar tidak stres di rumah aja,” ucapnya.
Ayu yang sedang duduk bermain keyboard tak sengaja memperhatikan kerajinan tangan buatannya dipasang di tembok kamar. Hal itu mengingatkannya pada hobi lama, yakni kegemarannya membuat kerajinan tangan.
Kerajinan tangan yang dimaksud adalah DIY (Do It Yourselft). DIY istilah yang biasa digunakan untuk membuat atau memodifikasi suatu benda. Ayu yang kala itu masih semester dua mulai mengisi waktu liburnya dengan memodifikasi kamar menggunakan DIY Craft melalui bahan seadanya.
“Jadi pas itu, memang lagi iseng saja ingin recover kamar sendiri dan ketemu ide membuat DIY Craft di internet, yang ternyata tidak terlalu sulit buatnya, kebetulan ada barang yang tidak terpakai jadi aku coba ubah ala-ala vintage gitu,” ungkapnya sambil tersenyum.
Pada akhirnya, Ayu yang kala itu sedang membuat kerajinan tiba-tiba mendapatkan ide segar dipikirannya. Ia mulai berpikir untuk mencari penghasilan di balik hobinya. Melihat kondisi seperti ini, justru membuat Ayu mampu produktif dengan memperoleh uang dari hasil kreativitasnya.
“Ketimbang cuman dibuat aja, mending aku coba jual, lumayan untuk penghasilan kantong sendiri,” ucapnya.
Hal serupa pun juga dilakukan Nanda untuk menambah penghasilannya. Dimana sempat bingung karena waktu siarannya berkurang membuatnya memutar otak untuk menambah penghasilannya. Berawal dari memiliki hobi bercocok tanam sayuran di pekarangan rumahnya untuk mengirit pengeluaran, akhirnya muncul inisiatif untuk mencoba menjual bibit tanaman di depan rumahnya.
“Banyak jalan menuju Roma, banyak cara dilakukan agar bisa menambah penghasilan, salah satunya dari hobi yang menghasilkan duit,” katanya sembari berguyon.
Sempat ragu untuk mencoba berbisnis, namun pada akhirnya Nanda membulatkan tekat untuk mencari solusi disaat seperti ini. Baginya, yang terpenting harus berani mencoba.
“Walaupun aku rakyat kecil tapi tidak takut buat berbisnis seadanya demi bisa makan bantu keluarga,” tegasnya.
Beradaptasi di Tengah Pandemi
Suatu kali terenyuh, Dr. I Gede Wardana,S.E.,M.Si yang merupakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang sekaligus Pengamat Ekonomi Politik, Universitas Udayana.
“Kondisi ekonomi mengalami kemerosotan yang tajam saat ini. Laju perputaran uang dan barang sangat lambat akibat dari kelesuan ekonomi. Akibat dari hal ini berbagai sektor seperti ekspor, investasi, dan tabungan mengalami penurunan,” ucapnya.
“Akibat menurunnya ekspor dan investasi tersebut, lapangan kerja mulai sedikit dan masyarakat tidak mempunyai pekerjaan terlebih dengan solusi jangka pendek dengan pengurangan produksi dan PHK membuat pendapatan masyarakat dan konsumsi juga menurun” tambahnya.
Berusaha beradaptasi di tengah pandemi. Ayu Puspita mulai mencoba memasarkan kerajinan tangannya melalui media sosial.
“Beberapa macam produk craft yang sudah aku buat di-upload di Instagram dari akun Instagram baru, khusus untuk bisnis kecil aku,” ungkapnya dengan semangat. Bermodalkan teknik marketing yang pernah dipelajari selama menempuh di bangku kuliah melancarkan niatnya.
“Pertamanya ngerasa kurang yakin, karena banyak yang harus dipikirin dari mulai nentuin modal, stok barang, sampai pengirimannya, karena aku memulainya sendiri jadi apa-apa harus dipikirin dan dikerjain sendiri. Nah, pas bisnisnya mulai, akhirnya ada orderan pertama dari dm (direct message) Instagram terus beberapa harinya ada lagi yang tertarik, senang banget rasanya dan mulai berkurang rasa kurang yakin itu,” ungkapnya sembari tersenyum.
Perasaan serupa pun dialami Nanda saat memulai bisnis bibit tanamannya. “Jujur saja, awal jualan sempat berpikir gak bakal ada yang tertarik membelinya, tetapi karena aku coba promosiin lewat WhatsApp Group ternyata ada yang tertarik,” ungkapnya.
Dengan semangatnya Nanda selalu berusaha untuk menawarkan bibit tanamannya yang akhirnya mampu menemukan pembelinya.
“Bibit sayur yang aku jual hanya Rp.1000/bibit ini masih tergolong wajar di kantong teman-teman aku, mulanya jual dari bibit sayur hijau,tomat, dan terong. Lalu karena murah dan gampang tanamnya akhirnya pesanan selalu ada tiap harinya, dari sana mulai berani deh jual bibit bumbu agar stok bibit beragam,” tambahnya bahagia.
Siapa sangka, di saat terhimpit mereka berdua mampu berusaha. Hobi lama pun dapat menjadi sebuah bisnis. Sudah seharusnya semua mampu beradaptasi di tengah pandemi dengan melihat peluang yang ada. “Intinya jangan pernah putus asa di saat tersulit,” ucap Ayu. “Manfaatkan kondisi, karena semua masalah pasti ada peluang,” tambah Nanda.
Menurut Gede Wardana, beberapa alternatif baru sudah seharusnya diperlukan di saat seperti ini. “Solusinya Back to Nature (Kembali ke alam), seperti berternak dan berkebun memanfaatkan lahan yang ada agar lebih produktif. Selain itu dengan mengubah pola hidup menjadi lebih sederhana dan mengubah mindset (pola pikir),” tuturnya.
Salah satu pesan yang menjadi pengingat, “Kemiskinan moral lebih berbahaya daripada kemiskinan material,” tutup Gede Wardana.
Penulis: Ngakan Putu Teja Kamertaya
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Udayana
Reporter: bbn/opn