search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Menakar Perspektif Perlindungan Anak dengan Menaikkan Harga Rokok
Kamis, 23 Juli 2020, 23:00 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/kbr.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Menteri Sosial mengusulkan harga rokok dinaikkan menjadi Rp 100.000,00 per bungkus untuk mencegah meningkatnya perokok anak-anak dalam Webinar Hari Anak Nasional 2020. 

[pilihan-redaksi]
Upaya tersebut disampaikan dalam rangka mengentaskan perokok anak yang masih menjadi masalah besar di Indonesia. Selain membatasi akses ekonomi anak-anak terhadap rokok, kenaikan tarif rokok diduga mampu mendongkrak pendapatan negara dari cukai. Meskipun demikian peningkatan cukai rokok juga berpotensi mempengaruhi tingkat kemiskinan rumah tangga di masa pandemi. 

Rokok memiliki kontribusi yang cukup besar dalam membentuk garis kemiskinan, yang akan digunakan untuk mengkategorikan rumah tangga miskin atau tidak miskin di Indonesia termasuk di Bali. Lantas langkah apa yang idealnya ditempuh pemerintah, melindungi anak-anak apa mengejar pendapatan negara?

Terlepas dari pandangan rokok sebagai benda ekonomis, rokok juga diklaim membawa dampak buruk bagi kesehatan tubuh. Perokok aktif maupun pasif dapat membahayakan kesehatan karena mengandung 4.000 lebih zat kimia yang bisa membahayakan tubuh. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Setiap menit, hampir 11 juta batang rokok diisap di dunia dan 10 orang perokok meninggal seperti dilansir dari health.detik.com.

Selain itu rokok juga disinyalir dapat memicu beberapa penyakit kronis seperti kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin, serta disfungsi ereksi yang sangat berisiko bagi kesehatan. 

Analisis Badan Pusat Statistik dalam Profil Statistik Kesehatan 2019 melaporkan bahwa pada tahun 2019 persentase penduduk usia 10-18 tahun yang merokok dalam sebulan terakhir mencapai 3,87 persen. Artinya 4 dari 100 anak usia 10-18 tahun (usia sekolah) merupakan perokok aktif dalam sebulan terakhir. Rokok bukan lagi hal yang asing bagi sebagian anak Indonesia. 

Permasalahan perokok anak tidak hanya melekat pada entitas kelompok umur mereka namun juga klasifikasi tempat tinggal, jenis kelamin dan jenjang pendidikan yang ditamatkan. Kecenderungan merokok penduduk usia 10-18 tahun yang tinggal di perdesaan kecenderungan 1,108 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan. 

Meskipun tidak sangat jauh berbeda kecenderungan anak-anak di perdesaan lebih banyak merokok diduga akibat faktor rendahnya literasi dampak rokok dan pengaruh lingkungan. Dari segi jenis kelamin, diketahui bahwa penduduk laki-laki 47,619 kali lebih cenderung untuk merokok dibanding perempuan. Persentase perokok penduduk usia 10-18 tahun yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 7,39 persen sedangkan untuk perempuan sebesar 0,15 persen. 

Anak laki-laki biasanya akan mudah terpengaruh untuk merokok sebagai pembuktian status sosial dan mendapat pengakuan “gagah” dari lingkungan dan teman sepermainannya. Apabila ditinjau dari status sekolah, penduduk yang tidak atau belum pernah bersekolah memiliki kecenderungan merokok 4,695 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang masih bersekolah. 

Selain itu, mereka yang sudah tidak bersekolah lagi memiliki kecenderungan untuk merokok 4,542 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum atau tidak pernah bersekolah. Hasil tersebut mengungkapkan bahwa betapa pentingnya fondasi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari rokok terutama bagi anak-anak. 

Penelitian oleh Sito Rukmi pada tahun 2019 yang berjudul Tobacco Use and Adolescents in Indonesia: "Narrative Review of Determinants" menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi, personal, kebiasaan, dan faktor lingkungan berkontribusi terhadap perilaku merokok remaja. Kenaikan harga rokok mungkin saja membatasi akses ekonomi bagi anak akan rokok namun dibalik semua itu ada faktor-faktor yang mendasar yang perlu dikondusifkan untuk mencapai hasil yang optimal. Jangan sampai pembatasan secara ekonomis justru malah memicu kerawanan sosial lainnya yang dilakukan oleh anak-anak seperti tindak kenakalan remaja atau bahkan kejahatan anak. 

Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang seperti yang dilansir dari katadata.co.id. Jumlah tersebut tidak hanya anak-anak tetapi juga termasuk penduduk usia dewasa. Dengan meningkatnya harga rokok, maka otomatis tingkat pengeluaran rumah tangga penduduk yang merokok aktif secara otomatis mungkin akan terpengaruh. 

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional konsumsi rokok juga merupakan salah satu komoditas penyumbang terbesar bagi garis kemiskinan. Pada periode Maret 2020 rokok kretek filter berkontribusi sebesar 12,16 persen terhadap garis kemiskinan makanan di wilayah perkotaan dan 10,98 persen di wilayah perdesaan. Artinya, konsumsi rokok selain berbahaya bagi kesehatan otomatis menjadi beban ekonomi bagi rumah tangga miskin, baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan. 

Padahal di sisi lain ada kebutuhan konsumsi makanan sehat yang juga tidak boleh ditunda untuk mendukung daya tumbuh kembang anak yang harus diprioritaskan, protein misalnya. Rencana kenaikan harga rokok oleh pemerintah sebaiknya menjadi momentum bagi kalangan penduduk kelas pendapatan menengah ke bawah untuk menakar kembali pola konsumsi rokok. 

Alangkah bijaknya jika mulai menimbang opsi untuk meningkatkan kualitas hidup anak mereka dan keluar dari jurang kemiskinan pada generasi berikutnya. Payung hukum perlindungan anak dari rokok di Indonesia masih terbatas. Upaya untuk menggaungkan gerakan anti rokok di sekolah salah satunya diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. 

Meskipun demikian regulasi tersebut ternyata belum optimal karena anak-anak tidak hanya menghabiskan waktunya di sekolah namun juga bersosialisasi di luar sekolah apalagi di masa pandemi. Antisipasi untuk menekan perokok anak dan menghindari vicious cycle kemiskinan harus dimulai dari kita semua. Penyelenggara perlindungan anak itu mulai dari orang tua, masyarakat hingga pemerintah bahkan negara. Anak terlindungi, Indonesia Maju. Selamat Hari Anak Nasional untuk semua anak-anak di Indonesia. 


I Gede Heprin Prayasta
Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Udayana

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami