search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Keterbatasan dalam Pemberdayaan Desa Adat
Minggu, 10 Januari 2021, 16:10 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Benarkah desa pakraman atau desa adat memiliki pesona? Dengan pesona itu, berbagai macam kepentingan berebut untuk menggapai pesonanya? 

Bagi saya, tidak berlebihan kiranya ungkapan ini. Saking mempesonanya, banyak pihak dengan berbagai kepentingan, dibuat mabuk kepayang dan berusaha dengan berbagai cara menikmati pesona desa adat. Implikasinya, desa adat pun bersolek, menunjukkan berbagai macam pesonanya, yang kemungkinan sebelumnya masih terpendam. Terang saja hal ini membuat berbagai kepentingan semakin nekad dan tidak bisa menahan hasrat lagi untuk menggapainya. 

Belum lekang dalam ingatan bagaimana sumber daya alam yang dimiliki oleh desa adat menjadi pesona yang luar biasa bagi investasi pariwisata. Demi mengeruk keuntungan dari sumber daya alam tersebut, warga desa adat dibuai dengan begitu banyak janji manis kesejahteraan. 

Sumber daya manusia yang dimiliki desa adat juga menjadi ceruk yang tidak ada habisnya untuk dieksploitasi oleh berbagai macam kepentingan. Merekalah serdadu paling setia dan meyakinkan untuk mengekspresikan “penjaga” kebudayaan Bali. Kecintaan mereka terhadap desa adat tidak ada duanya.
     
Pujian atas pesona itu bisa membuat orang lupa diri. Itu pasti. Desa adat, dengan orang-orang Hindu Bali di dalamnya, seringkali dibuat mabuk dengan sanjungan dan pesona yang selalu diuntaikan, kadang dalam kata-kata rayuan atau tindakan yang menyejukan untuk menyangjung diri sendiri. Jika tidak awas, kita akan termakan rayuan dan sanjungan tersebut. Kita menjadi takabur dan lupa diri.   

Selain jumawa dengan diri sendiri, di balik pesona saya meyakini pasti terdapat luka yang menganga. Pesona harmoni, ramah tamah, dan stabil menutupi kekerasan dan dendam yang bisa menyembur kapan saja. Desa adat menyimpan akar dendam yang dalam terkait dengan banyak hal. Begitu kompleks. Dibalik pesona adat dan tradisinya, “benteng kebudayaan Bali” ini begitu rapuh untuk terseret ke dalam berbagai macam kepentingan yang mengkooptasinya.     

Mengapa desa adat begitu mempesona? Jika bercermin dari jejak sejarah, Nordholt (2006) mengungkapkan bahwa desa-desa adalah tempat sumber daya manusia yang diperlukan untuk menopang kekuasaan pemerintahan supra-desa (kerajaan, pemerintah kolonial Belanda, otoritas pemerintahan Indonesia, investor, dan institusi lain di luar desa tersebut). Kini kita sering mendengar kata sinergi, kolaborasi, atau berbasiskan desa adat untuk menggambarkan “kepentingan” mengakomodasi desa adat dalam berbagai program pemerintahan supra-desa tersebut.  

Pesona dan Kooptasi

Saking mempesonanya, kaca mata orientalisme meromantisasi desa adat sebagai “republik”. Jauh sebelumnya, F.A. Liefrinck (1927; Parimartha, 2013: 61), seorang pejabat administrasi kolonial Belanda yang tinggal di Buleleng Bali, yang meneliti desa-desa tua di Bali utara (1886-1887), meletakkan pondasi awal yang mengkonstruksi gambaran bahwa desa-desa Bali yang eksotik dan otonom tersebut. Imajinasi kuasa kolonial mengkonstruksi desa agar kemudian memiliki otoritas untuk mengaturnya.

Perspektif orientalis dan eksotik ini mengungkapkan bahwa desa Bali yang sesungguhnya adalah sebuah republik kecil yang memiliki hukum, atau aturan adatnya sendiri. Susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, dimana setiap anggota memiliki hak-hak hukum yang sama. Orang yang ditunjuk menjadi pemimpin adalah orang yang paling lama menjadi anggota (tetua). 

Dalam konsepnya, desa di Bali digambarkan sebagai sebuah wilayah dengan suatu pemerintahan yang merdeka dari kekuasaan luar (Leifrinck, 1927). Liefrinck sendiri adalah seorang pejabat Residen Bali dan Lombok pada tahun 1896 – 1900. Meskipun muncul raja-raja penakluk, desa di Bali termasuk sukses melindungi dirinya dari dominasi bangsawan penakluk. 

Desa-desa tersebut kemudian tumbuh menjadi sebuah republik kecil yang egaliter dan otonom. Pada konteks inilah muncul konstruksi pengetahuan yang menyebutkan desa yang otonom yaitu sebuah republik desa. 

V.E. Korn (1932) kemudian melanjutkan dengan menyebut desa-desa di Bali sebagai republik desa (Dorpsrepubliek) yang otonom, demokratis, dan tertutup. Hal ini ia ungkapkan setelah melakukan penelitian di Desa Tenganan, Karangasem. Imajinasi tentang republik desa yang “merdeka” dan otonom dibentuk birokrasi kolonial. 

Hal ini dilakukan melalui serangkaian akumulasi pengetahuan yang diciptakan oleh para birokrat maupun etnolog kolonial. Parimartha (2013: 62) mencermati bahwa sasaran politik kebudayaan kolonial yang dilakukan oleh Liefrinck adalah usaha untuk meniadakan peranan dan otoritas para bangsawan kerajaan terhadap desa-desa di Bali

Politik kebudayaan kolonial yang ingin dilakukan oleh Liefrinck dan Korn adalah ingin membiarkan Bali tidak tersentuh. Hal ini artinya menjadikan desa sebagai wilayah yang tidak mudah dipengaruhi oleh budaya luar. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada saat itu terkenal dengan nama Baliseering atau “Balinisasi Bali”. 

Inti dari kebijakan Baliseering adalah membiarkan dan bahkan melindungi orang Bali untuk meneruskan pola hidupnya sendiri yang dinilai “indah dan bebas” dari gangguan dari luar. Orang Bali dengan kehidupannya yang unik itu dipandang sebagai “museum hidup” dunia yang mesti dilindungi dan dipertahankan keberadaannya.  

Sistem tradisi yang ada pada desa inilah yang akan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi pemerintahannya. Pemerintah kolonial Belanda membangun jaringan birokrasi pada tingkat yang paling bawah. Mereka mengembangkan administrasi colonial ini sebagai desa dinas (dienst) yang tidak mengganggu keberadaan desa adat yang sudah ada sejak zaman pra-kolonial. 

Desa dinas berkaitan dengan kekuasaan politik administrasi dan birokrasi pemerintah kolonial Belanda, sedangkan desa adat berkaitan dengan pemerintahan masyarakat adat, yang pengelolaannya tetap otonom mengikuti gagasan kolonial Baliseering (Nordholt, 1991; 1994; Gunawan, 2014: 119-122).   

Bali pascakolonial tidak beranjak dari pangkuan kooptasi. Jika sebelumnya pemerintah kolonial yang mempraktikkan otoritasnya terhadap desa, kini negara hadir dengan peraturan yang menerabas eksistensi lembaga-lembaga tradisional/adat yang ada sejak masa pra-kolonial hingga kolonial. 

Kehadiran Undang-Undang  No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 mengganti peran pemimpin adat, yang dipilih ataupun ditunjuk, dengan kepala desa yang dipilih setelah melalui screening negara. Para kepala desa inilah yang kemudian bekerja dalam sebuah struktur birokrasi nasional yang seragam (Henley dan Davidson, 2010: 13). 

Namun, pesona Bali tidak luntur. Pada masa ini, desa adat mengalami masa-masa yang sulit, tetapi tetap bertahan. Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986 menjadi bukti. 

Dalam Perda ini, kedudukan, fungsi, dan peranan desa adat adalah sebagai Desa Dresta yaitu kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. 

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 06 tahun 1986 kemudian diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Desa pakraman mengganti nama desa adat pada Perda sebelumnya, namum substansinya tetap sama. 

Kini terbit Perda terbaru No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Ada penambahan substansi dengan masuknya konsep Sad Kerthi yang merupakan landasan filosofis kepemimpinan Gubernur I Wayan Koster. Dalam Perda terbaru ini, Desa Adat dirumuskan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 

Penjelasan lainnya adalah bahwa desa adat berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang berakar dari kearifan lokal Sad Kerthi, dengan dijiwai ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali, sangat besar peranannya dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga perlu diayomi, dilindungi, dibina, dikembangkan, dan diberdayakan guna mewujudkan kehidupan Krama Bali yang berdaulat sedikacara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. 

Hal ini membuktikan begitu mempesonanya desa adat. Pada masa pandemic Covid-19 ini, berbagai actor dan kepentingan berlomba-lomba untuk “memberdayakan” desa adat dan menjadikannya ujung tombak penanggulangan pandemi. Tidak salah memang. Petarung sesungguhnya selain tenaga medis dan kesehatan, juga adalah desa adat. 

Berkaca dari genealogi yang saya uraikan di atas, niat baik “membalikan Bali” dalam kebijakan Baliseering pada masa colonial penuh dengan selubung hasrat untuk menguasai, mengontrol. Berbagai kebijakan “memberdayakan” desa adat juga tidak lepas dari kepentingan, hasrat, kuasa, dan sudah tentu kooptasi. Kata bijak memberdayakan bisa terpeleset menjadi memperdaya yaitu hanya menjadikan desa adat sebagai institusi dan orang-orang di dalamnya hanya sekadar alat untuk kepentingan aktor yang berkuasa. 

Penulis

Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa

 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami