search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Srikandi PDIP Dapil Gianyar Sikapi Tren Hamil Dulu Baru Nikah
Rabu, 4 Desember 2024, 20:59 WITA Follow
image

beritabali/ist/Srikandi PDIP Dapil Gianyar Sikapi Tren Hamil Dulu Baru Nikah.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Perkawinan usia dini dinilai bukan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ekonomi ataupun permasalahan sosial. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, praktik ini justru terbukti menjerumuskan anak ke dalam masalah yang lebih kompleks.

Di tengah isu penurunan angka perkawinan secara nasional hingga 7,5 persen pada tahun 2023, ternyata Indonesia masih dihadapkan pada segudang masalah perkawinan usia anak, tak terkecuali di Provinsi Bali.

Hingga saat ini ratusan ribu anak-anak di bawah usia 18 tahun telah melangsungkan perkawinannya dengan berbagai alasan, salah satu penyebab adalah persoalan ekonomi keluarga.

Fakta ini mendapatkan sorotan Srikandi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Dapil Gianyar pendulang suara tertinggi di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 DPRD Bali dengan jumlah coblosan 133.868 pemilih, Putu Diah Pradnya Maharani.

Diwawancarai awak media usai mengikuti Rapat Pembahasan Program Kerja dan Membangun Sinergi bersama Mitra Kerja Komisi IV DPRD Provinsi Bali, Rabu, 4 Desember 2024, Gek Diah- sapaan akrab Putu Diah Pradnya Maharani- trend ini bisa diputus.

“Jangan sampai ini (pernikahan usia dini, red) menjadi trend yang dinormalisasi (dianggap lumrah, red). Kan kita tahu, kita mempunyai asas dari norma-norma yang berlaku. Jadi, fenomena seperti ini, kita harus sebarkan wearnes (pandangan, red) yang saya dengar dari Forum Pemuda Nasional yang mempertanyakan hal ini. Mereka bertanya di Bali memang sering ya, normal ya kalau hamil dulu baru nikah? Jadi, narasinya sudah sampai di nasional di kalangan teman-teman pemuda yang saya kenal,” ungkap Gek Diah.

Menyikapi fenomena sekaligus “alarm” yang mengancam eksistensi pemuda-pemudi di Pulau Dewata ini, Gek Diah menyiratkan diperlukan “tameng” sekaligus kerja sama seluruh stakeholder untuk menekan angka pernikahan usia dini.

“Tameng ini dalam hal pendidikan SDM (sumber daya manusia, red), perempuan juga harus berani berbicara dalam kondisi ditekan oleh sistem patriarki (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan, red) yang masih dominan di Bali. Di mana mereka (perempuan, red) tidak berani bersuara dan tentunya ini berkaitan lagi dengan tingkat kemiskinan. Karena apa? Kalau kita memiliki anak, kan pasti ada biaya-biaya untuk pendidikan, finansial untuk kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain, itu akan meningkat. Jadi, kalau orang tuanya tidak memiliki kesiapan finansial dan mental, pasti ini akan berpengaruh besar,” tegas Gek Diah.

Putri Bupati Gianyar, I Made “Agus” Mahayastra itu menambahkan fenomena pernikahan dini yang dipicu hamil di luar nikah bisa diatasi dengan sosialisasi masif dalam rangka peningkatan kualitas SDM di kalangan pemuda-pemudi.

Pendidikan kesehatan reproduksi serta dampak negatif pernikahan usia dini ini harus diprioritaskan kepada para pelajar Indonesia, khususnya Bali.

“Isu-isu terkait juga kita harus selalu update sehingga apa yang menjadi masalah bagi teman-teman muda dan masyarakat bisa dituntaskan,” urai politisi kelahiran 30 Oktober 2002 itu.

“Mereka tidak berani bersuara, mereka tidak tahu bagaimana mempersiapkan sebuah pernikahan. Padahal mulai dari kesehatan (calon pasangan suami istri, red) harus dijaga. Kita sehat atau tidak? Selanjutnya, apakah siap untuk mempunyai anak dan membiayai keluarga? Mentalnya juga harus dijaga karena mental dari si calon ibu sangat penting supaya tidak terjadi baby blues,” tegas Gek Diah yang tercatat pernah meraih medali perunggu dalam Olimpiade Kimia tingkat SMP Se-Bali Tahun 2018.

Adapun baby blues dimaksud adalah gangguan suasana hati yang dialami ibu setelah melahirkan, yang ditandai dengan perasaan sedih, cemas, mudah marah, dan menangis.

Perkawinan usia anak yang dipicu hamil di luar nikah tegas Gek Diah disebabkan karena baik si pria dan si perempuan sama-sama tidak mengetahui dengan mendalam dampak negatif yang menanti mereka.

“Ini perlu tameng atau pembekalan agar fenomena ini tidak terjadi lagi sehingga mereka paham dan bertindak lebih berhati-hati sekaligus lebih bertanggung jawab, berpikir dua tiga kali,” ungkap Gek Diah. 

Lebih jauh, Gek Diah menyebut sejatinya negara sudah hadir merespons kondisi tidak ideal ini melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Undang-undang ini mengatur beberapa hal, di antaranya bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita sudah berusia 19 tahun. Selanjutnya, orang tua dari pihak pria dan atau pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan jika ada alasan yang mendesak dan disertai bukti-bukti pendukung. 

Pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua calon mempelai sebelum memberikan dispensasi. Disebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 

“Undang-undang ini dibuat untuk mencegah perkawinan anak yang dapat berdampak negatif pada tumbuh kembang anak,” tutup Gek Diah.

Editor: Robby

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami