search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Petulangan Kolosal “Sidi Kara Jati” Warnai Pitra Yadnya di Peliatan

Kamis, 7 Agustus 2025, 14:19 WITA Follow
image

beritabali/ist/Petulangan Kolosal Sidi Kara Jati Warnai Pitra Yadnya di Peliatan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, GIANYAR.

Dalam tradisi Pitra Yadnya di Bali, sarana petulangan biasanya mengambil bentuk simbolik seperti lembu, singa, gajah, mina (ikan), atau bentuk sakral lainnya.

Namun, krama dari Banjar Teges Kawan dan Banjar Teges Yangloni, Desa Adat Peliatan, Kecamatan Ubud, menghadirkan inovasi budaya yang mencuri perhatian: sebuah petulangan kolosal yang menggabungkan seluruh unsur simbolik dalam satu wujud.

Petulangan ini mereka namai "Sidi Kara Jati", sebagai simbol persatuan dan ketulusan krama dari dua banjar yang berbeda soroh (garis keturunan).

Bentuk petulangan ini terbilang unik dan penuh filosofi. Dari pantauan Kamis (7/8), petulangan yang kini dipajang di depan Balai Banjar tampak mencolok karena ukurannya yang besar dan bentuknya yang memadukan berbagai ikon satwa sakral.

Sekilas menyerupai gajah dengan belalai menjulur, namun wajahnya bergaya naga dan singa, bertanduk seperti lembu, bersisik naga, berekor ikan, dan bersayap layaknya sardula (makhluk mitologi bersayap).

Kelian Banjar Teges Kawan, I Wayan Mudalara, yang didampingi Kelian Banjar Teges Yangloni, I Made Sandiyasa Astawa, menjelaskan bahwa wujud petulangan tersebut melambangkan tekad dan semangat kebersamaan krama dari dua banjar dalam menjalankan yadnya suci, tanpa membeda-bedakan latar belakang soroh.

“Petulangan ini merupakan perwujudan semangat kebersatuan kami dalam pelaksanaan Pitra Yadnya. Kami beri nama 'Sidi Kara Jati' sebagai simbol ketulusan dan kesatuan hati krama dari Teges Kawan dan Teges Yangloni dalam mempersembahkan bakti kepada leluhur,” ujar Mudalara.

Tidak hanya petulangan, seluruh sarana yadnya seperti petak dan perlengkapan upacara lainnya juga dibuat secara bersama dan digunakan secara kolektif oleh seluruh krama, kecuali unsur tertentu yang bersifat khusus untuk masing-masing sawa (jenazah).
Tahun ini, atiwa-atiwa diikuti oleh 18 sawa, dengan pelaksanaan yadnya berlangsung selama 18 hari, dimulai sejak 26 Juli hingga puncak upacara pada 13 Agustus 2025.

Demi efisiensi, pembiayaan untuk masing-masing sawa diupayakan seminimal mungkin tanpa mengurangi makna upacara, berkat sinergi gotong-royong, punia, dan pengelolaan teknis yang efektif.
Bendesa Adat Peliatan, Cokorda Putra Wisnu Wardana, dalam kesempatan menyerahkan punia untuk pelaksanaan atiwa-atiwa, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap semangat kebersamaan yang ditunjukkan oleh krama dari Banjar Teges Kawan, Teges Yangloni, serta Banjar Pande Peliatan.

“Setiap tahun pelaksanaan atiwa-atiwa di Peliatan terus mengalami penyempurnaan teknis tanpa mengurangi nilai sakralnya. Kebersatuan yang ditunjukkan dua banjar ini, meski terdiri dari berbagai soroh, patut dijadikan contoh. Yang paling utama dalam yadnya ini adalah rasa tulus dan niat suci krama yang mesikian (menyatu),” ujarnya.

Ia berharap pelaksanaan yadnya seperti ini bisa menjadi model dinamis dalam menjaga tradisi adat dan spiritual Bali, sembari terus menyesuaikan dengan tantangan zaman.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/gnr



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami