Amit-Amit Resesi, Ini Yang Akan Menimpa Kantong Orang RI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Resesi ekonomi menjadi hantu menyeramkan bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Selain kontraksi pertumbuhan ekonomi, tanda-tanda resesi dapat dilihat dari inflasi tinggi, penurunan permintaan eksternal atau ekspor, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pelemahan nilai tukar.
Hal tersebut akan menjadi momok yang menakutkan, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi dunia usaha. Jika resesi datang, dunia usaha akan mengalami tekanan hebat dari berbagai sisi.
Produktivitas akan jatuh, karena permintaan konsumen yang turun. Turunnya permintaan dipastikan karena masyarakat akan mengerem belanja dan memilih mengamankan uangnya untuk keperluan penting di masa krisis.
Turunnya permintaan dari dalam negeri akan dibarengi oleh penurunan permintaan dari luar negeri jika perusahaan melakukan ekspor dan kondisi resesi juga mengenai tatanan global. Di tengah kondisi yang membebani ini, perusahaan akan memangkas biaya, terutama dari sisi produksi.
Tentunya, opsi pemotongan gaji hingga PHK akan dipilih dunia usaha. Amit-amit, pilihan terburuk jatuh pada PHK. Imbasnya daya beli masyarakat akan terkena dampak dan tingkat pengangguran bertambah.
Tanda-tanda terjadinya PHK sebenarnya telah tampak di dalam negeri. Pasalnya, perusahaan belum sepenuhnya pulih dari efek pandemi. Sekarang mereka dihadapkan oleh riak-riak resesi.
Kalangan buruh mengungkapkan bahwa banyak anggotanya yang sudah mulai mengurangi hari kerja, bahkan tidak sedikit yang akhirnya dirumahkan.
"Sampai saat ini yang dirumahkan panjang, artinya sebulan nggak kerja, paling nggak untuk anggota hampir 5.000-an, termasuk di industri tekstil, garmen, sepatu juga," kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Roy Jinto kepada CNBC Indonesia, Senin (17/10/22).
Fenomena ini terjadi akibat adanya penurunan permintaan, utamanya untuk pasar ekspor. Akibatnya pekerjaan menjadi lebih sedikit dan buruh yang menerima konsekuensinya, yakni tidak bisa bekerja secara normal bahkan untuk karyawan kontrak sudah mulai dilepas.
"Karyawan kontrak yang habis kontraknya nggak diperpanjang lagi oleh perusahaan. Karena kalau kontrak habis dengan order nggak ada jadi dia nggak diperpanjang. Karyawan tetap masih dirumahkan dan ada pengurangan hari kerja," kata Roy.
Jika kondisi ini terus menerus berlangsung, bukan tidak mungkin bisa merembet pada kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah membenarkan bahwa banyaknya PHK akan menjadi salah satu dampak terbesar jika resesi menghampiri ekonomi Indonesia.
"Dari pengalaman 2020 itu paling terdampak kalangan menengah ke bawah. Ketika perekonomian terkontraksi maka akan banyak perusahaan tertutup sehingga banyak PHK," tutur Piter.
Dia menambahkan PHK membuat orang kehilangan sumber pendapatan sehingga daya beli melemah dan kemiskinan pun meningkat. "PHK akan mengurangi daya beli dan kualitas hidup mereka. Kemiskinan pun meningkat," imbuhnya.
Sementara itu, Mantan menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri mengingatkan bahwa perusahaan di dalam negeri yang melakukan impor atau memiliki utang valas akan dibebani oleh nilai tukar rupiah yang melemah karena adanya fenomena strong dollar.
Tidak hanya perusahaan yang melakukan impor, perusahaan luar negeri yang berinvestasi di Indonesia dan menjual produknya dalam rupiah akan terdampak.
Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.
Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. Salah satu upaya mereka adalah menurunkan biaya produksi dan porsi investasi.
"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.
"Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun," jelasnya.
Inilah yang menurut Chatib sebagai fenomena neraca atau balance sheet effect dari penguatan dolar AS. Oleh karena itu, dia melihat sulit ekonomi Indonesia mengandalkan sektor swasta ke depannya karena ada efek neraca, ditambah dengan tren kenaikan suku bunga acuan.(sumber: cnbcindonesia.com)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net