Kontribusi Sektor Swasta Belum Optimal untuk Investasi Hijau di RI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BADUNG.
Meskipun mengalami peningkatan nilai kapitalisasi pasar sampai dengan 20% pada Mei 2022 paska pandemi di tahun 2020, partisipasi sektor swasta dinilai belum optimal, karena baru berkontribusi sebesar 9% dari total kebutuhan investasi hijau di Indonesia.
“Meskipun trennya meningkat, sektor swasta baru berkontribusi sebesar 9% (atau USD 21.3 miliar selama 2015-2019) dari total kebutuhan pendanaan," ungkap Tiza Mafira selaku Associate Director Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia dalam Lokakarya bertajuk “Potensi Pengembangan Produk Hijau di Pasar Modal Indonesia”, diselenggarakan bersama Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia, Bursa Efek Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan, di Kuta, Badung, Jumat, 22 Juli 2022.
Untuk mengisi kesenjangan pendanaan, lanjutnya, dibutuhkan sekitar USD 250 miliar sampai dengan tahun 2030. Hingga tahun 2020, pemerintah telah mendanai sekitar 34% dari total kebutuhan pendanaan tersebut, sehingga sisanya sebesar 66% diharapkan dapat diisi dari sumber non-pemerintah.
Pihaknya juga memaparkan analisisnya mengenai potensi Taksonomi Hijau Indonesia dalam mendorong investasi hijau di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, di awal tahun 2022 OJK menerbitkan Taksonomi Hijau Indonesia yang memberikan pedoman aktivitas ekonomi dengan menerapkan sistem ”traffic light” untuk mengklasifikasi kegiatan dari sudut pandang keberlanjutan.
Yaitu hijau untuk kegiatan yang tidak membahayakan dan berdampak positif terhadap lingkungan, kuning untuk kegiatan dalam transisi, dan merah untuk kegiatan tinggi emisi dan merusak lingkungan. Kategorisasi ini dirancang untuk mengarahkan investasi menuju kegiatan ramah lingkungan.
“Tujuan taksonomi sebenarnya adalah untuk memberikan sinyal yang jelas bagi sektor swasta untuk memperbanyak investasinya di kategori hijau,” sebutnya.
Analisis CPI menunjukkan bahwa Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 telah mengkategorikan 919 kegiatan usaha, dimana 15 kegiatan dilabelkan “hijau”, 422 dilabelkan “kuning”, dan 482 dilabelkan “merah”. Studi ini juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tren portfolio hijau di 3 tahun terakhir.
“Data menunjukkan bahwa OJK cukup berhasil meningkatkan minat portfolio investasi hijau sejak penerbitan POJK 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, yang mengidentifikasi 11 jenis portfolio hijau yang perlu dilaporkan oleh sektor keuangan. Apabila taksonomi diperkuat dan diharmonisasi dengan instrumen hukum serupa, maka potensi investasi hijau akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kegiatan usaha yang berhasil mendapat label hijau,” pungkas Tiza Mafira.
Sedangkan klasifikasi usaha yang saat ini dikategorikan ‘kuning’ juga perlu diperjelas perannya sebagai kategori sementara dalam rangka memuluskan transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah emisi.
Apabila jelas kondisi-kondisi yang kelak akan menyebabkan industri di kategori kuning diperketat menjadi merah, maka investor akan memiliki kepastian untuk investasi jangka panjang.
Sementara, Nurkhamid selaku Kepala Bagian Penilaian Perusahaan Jasa Keuangan, OJK, menanggapi bahwa taksonomi hijau adalah upaya kebijakan dalam penguatan ekosistem keuangan berkelanjutan.
“Disamping itu, taksonomi dapat membantu pemantauan berkala investasi, utamanya sektor swasta, melalui peningkatan kualitas pelaporan dan pengungkapan (disclosure), sehingga dapat mendorong mobilisasi investasi pada sektor-sektor hijau,” pungkasnya.
Editor: Robby
Reporter: bbn/tim