search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Putu Suartawan, Manusia Cabe dari Desa Ularan Seririt
Selasa, 19 Januari 2016, 08:05 WITA Follow
image

bbn/suaradewatacom

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, BULELENG.

Bukan sekedar penggemar selera makanan pedas, Putu Suartawan (40) lahir dan tumbuh menjadi seorang manusia yang betul-betul kebal dengan rasa pedas. Warga Banjar Yadnya Kerti, Desa Ularan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng ini pun bukan hanya mampu memakan cabai merah lebih dari satu kilogram, ia pun bahkan mampu menahan rasa panas dan perih ketika cabai tersebut memasuki bagian mata atau organ vital lain di wajahnya.
 
Suartawan yang kesehariannya tinggal bersama seorang istri dan empat orang anak ini berprofesi sebagai seorang penjaga keamanan di Bendungan Titab yang juga merupakan objek wisata lokal di kawasan Bali Utara. Bersama istri dan anak-anaknya, lelaki bertubuh gempal ini pun melakukan aktifitas sampingan sebagai seorang pembuat dan penjual kuliner tape beras.
 
“Saya sudah terbiasa makan cabe merah sejak kecil karena dulu sering diajak ke kebun milik orang tua. Rasanya manis dan karena keasikan makan, maka saya dulu sering dimarah orangtua sebab cabe hasil panen yang harusnya dijual lalu saya makan,” kata Suartawan menceritakan hal ikhwal keunikan pada dirinya tersebut.
 
Semakin lama, ia pun kemudian merasakan bahwa cabe tidak lagi menjadi suatu makanan yang pedas malainkan manis ketika dikunyah bahkan di makan. Kondisi tersebut sangat terasa ketika ia menginjak umur enam tahun dan sering memakan puluhan cabe serta membalurkan ke tubuhnya.
 
Bukan hanya dibalurkan pada bagian badan, wajah bahkan matanya pun tak luput merasakan rasa bebal terhadap perih dan panasnya buah cabe. Bahkan tak jarang ia mengaku menggunakan cabai sebagai masker.
 
“Semakin merah maka akan lebih enak dikunyah dan dimakan. Kalau yang masih berwarna hijau atau masih muda, agak sedikit aneh. Tapi tetap tidak ada rasa pedas sama sekali ketika dikunyah. Hanya saja, saya selalu memilih untuk makan cabe yang berwarna merah,” ungkap Suartawan.
 
Ia pun bahkan tak luput dari ajang tontonan di beberapa acara yang digelar baik pemerintah maupun pihak event organizer yang memintanya untuk melakukan atraksi. Beberapa hotel sering kali memintanya untuk melakukan atraksi memakan cabe yang jumlahnya sampai mencapai tiga kilogram.
 
Jumlah tersebut bukan sekedar batas kemampuannya terhadap rasa cabe yang pada umumnya dirasakan pedas oleh orang normal. Namun ia mengaku bisa memakan lebih dari tiga kilogram cabe seandainya daya tampung perutnya memungkinkan untuk lebih dari itu.
 
Tak banyak bayaran yang pernah ia dapatkan dalam setiap kali melakukan atraksi. Ia bahkan tak jarang harus merogoh kantong sendiri untuk memberikan tontonan kepada khalayak ramai diberbagai tempat dimana ia diundang untuk memperlihatkan atraksi tersebut.
 
“Biasanya mendapat bayaran seratus ribu sampai dua ratus ribu rupiah. Dulu juga pernah dibayar waktu acara sosialisasi program pemerintah oleh Gubernur Bali, Mangku Pastika. Dan itu baru pertama kali bayaran tertinggi sampai lima ratus ribu rupiah untuk pengganti beli cabe. Selain itu,  bayaran setara juga pernah saya dapatkan ketika diminta untuk menampilkan antraksi di hotel kawasan Seririt,” ujar Suartawan.
 
Penampilannya pun tak jarang acap kali mengecoh orang. Ia yang sangat senang dengan seni tatto permanen tak jarang menimbulkan pandangan layaknya preman jalanan. Namun lelaki yang tangannya hampir penuh di isi tatto ini sangat ramah ketika suaradewata.com menghampiri tempat kediamannya.
 
Dikonfirmasi tentang riwayat sakit yang pernah diderita, ia mengaku pernah mendapat saran dari dokter untuk tidak meminum kopi. Bukan karena pantangan dari ia memakan cabe, tapi ia penyakit maag yang pernah dideritanya itu pernah membuat dirinya merasakan obat dari dokter.
 
“Selain sakit maag itu, saya tidak pernah merasa sakit apapun termasuk flu atau sakit kepala lainnya yang sering diderita orang lain. Hanya saja, rasa tidak nyaman itu muncul ketika sehari saya tidak memakan cabe,” katanya.
 
Suartawan pun mengaku belum pernah mendapatkan penawaran tanding atau kompetisi makan cabe dari luar Bali. Bahkan, ia mengaku gerah ketika menonton lomba menahan rasa pedas atau kontes makan cabe yang ditayangkan di layar televisi.
 
Andai pun ada yang berani memfasilitasi atraksinya itu, lanjut Suartawan, ia mengaku sanggup melayani hingga seberapa banyak atau seberapa cepat mampu untuk menghabiskan cabe. Bahkan, ia mengaku sanggup untuk dilombakan dengan orang luar Indonesia sekalipun untuk memakan cabe.
 
 
Sayangnya selama ini belum ada pihak yang mau menjadi sponsor atau melangsungkan lomba memakan cabe. Seandainya ada, saya jamin pasti tetap saya yang menjadi pemenang,” pungkas Suartawan menantang.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami