search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Nyama Bali Dan Nyama Selam, Wujud Penerimaan Secara Kultural di Bali
Rabu, 15 Mei 2019, 06:35 WITA Follow
image

Beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Konsep Nyama Bali dan Nyama Selam merupakan wujud penerimaan secara kultural di Bali. Secara historis, terjadinya interaksi secara intens antara Nyama Hindu dan Nyama Islam, mengakibatkan terjadi saling melepas dan menerima nilai-nilai integratif di antara mereka.

Demikian terungkap dalam sebuah artikel berjudul “Analisis Faktor Integratif Nyama Bali-Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat di Era Otonomi Daerah” yang dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Volume 2, Nomor 2 Tahun 2013. Artikel tersebut ditulis oleh I Made Pageh, Wayan Sugiartha, dan Ketut Sedana Artha dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja (Undiksha).

I Made Pageh dan kawan-kawan menuliskan interaksi Nyama Bali dan Nyama Selam terjadi karena adanya kesepakatan akan nilai-nilai budaya yang bersifat fundamental. Orang Bali berdasarkan konsep Tri Hita Karana, dengan slogan berbunyi “belahan pane, belahan payuk, celebingkah batan biu; gumi linggah ajak liu ada kene ada keto”. Artinya ada banyak perbedaan, kita harus dapat menerimanya atau multikulturalisme tingkat bawah secara filosopis dan teoretis, integrasi antarumat bergama itu bisa menjadi integrasi sosial.

Dengan demikian orang Bali memiliki kearifan sosial untuk menerima maupun bertoleransi terhadap perbedaan. Sebab itu, mereka tidak perlu menyeragamkan agama, melainkan berlandaskan pada pembenaran akan adanya perbedaan seperti tercermin pada konsep rwa bhineda (binary oposition) dan desa kala patra. Sebuah pengakuan akan adanya relativisme budaya sesuai dengan keadaan, ruang, waktu dan kreativitas manusia dalam merespons kondisi yang mereka hadapi. Hal tersebut tercermin pada strategi politik raja terhadap kaum muslim seperti yang dilakukan raja-raja Karangasem, Gelgel, Badung, Buleleng dan Jembrana.

Integrasi sosial bertambah kuat antara masyarakat Bali (Nyama Bali) dan masyarakat Islam (Nyama Islam) karena kemampuan mereka untuk berekosistensi. Hal ini dapat dilihat dari organisasi subak yang beranggotakan petani Hindu dan Islam sebagaimana yang terjadi pada subak Pancoran, Tegalinggah, Pemogan, dan Banyubiru Jembrana.

Demikian pula dalam bidang kesenian terjadi saling peminjaman budaya, seperti pada kasus geguritan Ahmad Muhammad, kidung ini tidak hanya penting bagi umat Islam namun penting juga bagi umat Hindu, khususnya di Desa Pamogan. Kidung Ahmad Muhammad merupakan perlengkapan penting pada saat berlangsung upacara melasti sebagai rangkaian Hari Raya Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi.

Umat Hindu di Desa Pamogan membuat sesajen khusus terbuat dari jajan. Pada saat sesajen dipersembahkan, maka dinyanyikanlah Kidung Ahmad Muhammad. Setelah itu maka sesajen ditutupi dengan kain putih yang dibentuk menyerupai kubah. Kubah mengingatkan pada kubah dalam Masjid. Dalam konteks kehinduan kubah bisa pula bermakna sebagai alam semesta.

Peminjaman budaya lainnya, diwujudkan dengan menggunakan nama depan khas Bali seperti Wayan, Putu, Made, Nengah, Komang, Nyoman, dan Ketut. Selain itu, pengunaan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari memperkuat integrasi, ditambah dengan peminjaman budaya seperti adanya ngegalung islam, cina, tradisi magibung, ngejot di kalangan umat muslim di daerah-daerah seperti Saren Jawa, Desa Gelgel, Kepaon (Denpasar) dengan ciri menu masakan ala Bali seperti lawar dengan tidak memakai darah dan daging babi, sate lilit, komoh, tum, urab, tipat-taluh yang dalam pelaksanaannya mengundang pemuka dan masyarakat Hindu

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami